Berbagai tradisi
penelitian untuk menganalisis
data kualitatif. Apakah mungkin sejumlah
karakteristik prosedur analisis kualitatif bisa memuaskan untuk berbagai tujuan penelitian? Relevansi dan penerapan prosedur tentu saja tergantung sepenuhnya pada data yang akan dianalisis dan tujuan serta
kegemaran dari peneliti.
Setelah
mengidentifikasi keragaman perspektif, Tesch (1993:2) berhasil mengkategorikan riset kualitatif menjadi 3 orientasi dasar:
1.
Pendekatan
berorientasi bahasa (language-oriented
approaches)
Pendekatan ini tertarik
pada penggunaan bahasa dan arti kata serta bagaimana
orang berkomunikasi dan memahami interaksi mereka.
2.
Pendekatan
deskriptif/interpretif (descriptive/interpretive
approaches)
Pendekatan ini berorientasi
untuk menyediakan deskripsi menyeluruh dan interpretasi dari fenomena sosial, termasuk makna bagi yang mengalaminya.
3.
Pendekatan membangun teori (theory-building approaches)
Pendekatan ini berorientasi
untuk mengidentifikasi hubungan antara fenomena sosial.
Sebagai catatan bahwa kategori yang
dimaksud di atas tidaklah diskret (tidak saling memisah satu dari yang lain).
Tipe kualitatif berorientasi bahasa pun adalah bersifat deskriptif/interpretif,
dan sebaliknya yang berorientasi deskriptif/ interpretif pun dapat membangun
teori. Oleh karena itu, suatu riset kualitatif sesungguhnya tidak harus terpaku
dalam salah satu kategori ancangan itu.
Menurut Mappiare (2009:99-100) tipe
riset kualitatif yang bernama ‘Studi Kasus’ keilmuan sosial, meskipun pada
dasarnya lebih bersifat deskriptif/interpretif, sudah terbukti darinya muncul
teori besar (salah satunya Psikoanalisis yang dibangun oleh Freud). Contoh
lain, tipe yang bernama ‘Analisis Percakapan’, ‘Analisis Naratif’ dan ‘Riset
Dialogis’ meskipun penekanannya berorientasi bahasa, buktinya dapat dan bahkan
tidak terhindar dari aktivitas deskriptif/interpretif, bahkan tidak jarang
digunakan untuk membangun teori.
A.
KATEGORI
REALISTIS
Menurut Mappiare
(2009:100) kategori ini dapat menjadi acuan penentuan tipe kualitatif baik
sebelum, bersamaan dengan, maupun setelah penemuan makna atas refleksi awal.
Kategori ini dibagi: (1) berdasarkan ajang riset; (2) berdasarkan strategi
analisis; dan (3) berdasarkan maksud khusus. Pada makalah ini pembahasan dikhususkan
untuk menjabarkan tipe kualitatif berdasarkan ajang riset.
1.
Analisis
Percakapan (Conversation Analysis)
a.
Pengertian dan
Landasan Filosofis
Analisis percakapan adalah analisis cara
orang berbicara, rutinitas percakapan mereka, menyediakan cara yang ampuh untuk
mengidentifikasi dan menganalisis ‘praktek’ yang merupakan realitas
kelompok/’lembaga’.
Analisis percakapan berawal dari
pemikiran dari dua kelompok intelektual. Pertama,
selama awal abad kedua puluh Wittgenstein (dan filsuf lainnya) berpendapat
bahwa realitas sosial dan interpersonal yang dialami orang dalam hidup terutama
dibangun melalui penggunaan bahasa. Seolah-olah hidup adalah 'permainan
bahasa'. Kedua, kelompok sosiolog (terutama
Amerika) pada 1950-an dan 1960-an memutuskan bahwa cara untuk memahami
kehidupan sosial adalah untuk menganalisis strategi mikro yang digunakan orang
untuk mengelola pertemuan antar pribadi dan kelompok. Sosiolog yang paling
terkenal Erving Goffman yang menggunakan metafora dramaturgi sebagai sistem
pengorganisasian utama untuk membongkar interaksi hal-hal kecil.
Pendekatan lain yang berpengaruh adalah
etnometodologi, terkait dengan karya Harold Garfinkel. Etnometodologi berusaha
untuk memahami proses penalaran mikro-sosial praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Sementara Goffman dan etnometodologi tertarik untuk mengamati apa
yang orang lakukan (dan juga mendengarkan apa yang mereka katakan tentang apa
yang mereka lakukan). Tokoh kunci pengembangan analisis percakapan adalah
Emmanuel Schelgoff dan Harvey Sacks (Silverman, 1998).
b.
Ciri Khas
Dasar dari analisis percakapan adalah
gagasan bahwa ‘lembaga’ tersebut akan disusun dalam hal serangkaian ‘praktek’. ‘Praktek’
ini merupakan sarana sehari-hari di mana hubungan organisasi atau institusi
kekuasaan, status dan kontrol terus dibangun bersama. Analisis cara orang
berbicara, rutinitas percakapan mereka, menyediakan cara yang ampuh untuk
mengidentifikasi dan menganalisis praktek yang merupakan realitas kelembagaan. Dalam
analisis percakapan penting untuk menggunakan transkrip percakapan sebenarnya
sebagai data, dan untuk menangkap tekstur halus dari dinamika percakapan,
termasuk jeda, penekanan, dan interupsi.
c.
Langkah-langkah Pelaksanaan
Proses melakukan analisis percakapan melibatkan
pengumpulan data primer dalam bentuk transkrip, dan kemudian memilih kutipan
dari materi yang akan dianalisis. Kemudian, setelah analisis tersebut telah
dilakukan, perlu untuk kembali ke transkrip untuk mencari bagian-bagian lain
dari teks untuk mengkonfirmasi yang telah dihasilkan melalui fase analisis. Tujuannya
adalah untuk memastikan, sejauh mungkin, bahwa analisis didasarkan pada data.
Heritage (dalam McLeod, 2001) menjelaskan bahwa peneliti menggunakan beberapa konstruk atau prinsip saat analisis percakapan yakni:
Heritage (dalam McLeod, 2001) menjelaskan bahwa peneliti menggunakan beberapa konstruk atau prinsip saat analisis percakapan yakni:
1)
Organisasi turn-taking. Apa saja 'aturan' turn-taking? Apa yang terjadi
ketika seorang pembicara berangkat
dari 'aturan'? Dalam hal apa struktur praktek turn-taking mencerminkan nilai-nilai dan tujuan institusi?
2)
Apa jenis urutan percakapan dapat
diamati? Biasanya akan ada
pola yang berulang interaksi yang mengalir di seluruh bergantian beberapa
percakapan. Sebagai contoh, satu urutan percakapan dianalisis terdiri
'pembukaan', diikuti dengan 'inisiasi
masalah', menyebabkan 'pembuangan' (apa yang harus dilakukan tentang masalah) dan kemudian pindah
ke 'penutupan'.
3)
Pilihan leksikal.
Penutur memilih istilah
deskriptif yang berbeda sesuai dengan konteks. Sebagai contoh, seorang klien psikoterapi mungkin menggunakan 'down' istilah dalam percakapan sehari-hari tetapi beralih
ke 'tertekan' dalam konteks
terapi.
4)
Interaksional asimetris.
Percakapan yang paling biasa adalah 'simetris' dalam
arti bahwa ada aturan implisit
bahwa kedua (atau semua) peserta adalah sama dalam status/pengetahuan. Dengan biasa, percakapan
sehari-hari dapat mengambil banyak bentuk tergantung pada situasi. Misalnya, dalam pertemuan antara dokter dan pasien dokter akan mengajukan pertanyaan dan pasien akan menjawab mereka. Jika pasien tidak mengajukan
pertanyaan, dokter mungkin menghindari
melakukannya sendiri.
2.
Analisis
Wacana (Discourse Analysis)
a.
Pengertian dan Landasan Filosofis
Analisis wacana adalah sebuah pendekatan
untuk mempelajari arti yang telah menjadi penting dalam beberapa tahun terakhir
dalam psikologi sosial di Inggris. Tokoh kunci dalam gerakan analisis wacana adalah
Jonathan Potter, Margaret Wetherell, Michael Billig, Ian Parker dan Derek
Edwards. Analisis wacana dapat dilihat sebagai bentuk psikologi sosial yang mengambil
beberapa ide dasar dan metode analisis percakapan tetapi diperpanjang ke daerah
baru sementara pada saat yang sama sumber pengaruh seperti semiotika (Barthes,
1972).
Analisis
wacana merupakan kritik terhadap pandangan-pandangan
tradisional dalam penelitian
bahasa. Agak naif untuk berpikir
bahwa realitas sosial dapat
digambarkan dengan tegas. Hal ini
cukup jelas bahwa apa yang orang katakan dalam wawancara, secara tertulis, atau
dalam setiap interaksi mereka, dapat berbeda dari apa yang benar-benar mereka 'pikir’,
atau bahwa sikap dan perilaku tidak selalu cocok satu sama lain.
Masalahnya
adalah agar dipahami dan bermakna, ucapan-ucapan selalu tergantung pada konteks
tidak hanya dalam arti jelas bahwa orang mengekspresikan diri mereka secara
berbeda, untuk rekan-rekan di tempat kerja, peneliti, atau di buku harian
pribadi mereka (konteks sosial), tetapi karena apa yang orang katakan juga
secara kontekstual bergantung pada tingkat yang lebih halus: mungkin akan
terpengaruh oleh apa yang telah dikatakan sebelumnya dalam percakapan (dengan
sendiri atau oleh orang lain seperti seorang pewawancara), atau dengan cara
ucapan-ucapan diatur (konteks mikro). Cara bahasa digunakan tidak begitu banyak
mencerminkan batin seseorang, melainkan dunia subjektif.
Analisis wacana merupakan salah satu cara
mempelajari makna pesan sebagai alternatif lain akibat keterbatasan analisis
isi. Pertama, analisis isi
konvensional pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks
komunikasi yang bersifat nyata (manifest),
sedangkan analisis wacana justru berpotensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi
(laten). Kedua, analisis isi hanya dapat mempertimbangkan “apa yang
dikatakan seseorang (what)” tetapi
tidak dapat menyelidiki “bagaimana seseorang mengatakannya (how)”, sedangkan analisis wacana memandang
teks sebagai suatu kesatuan isi.
Analisis wacana
dimulai dari asumsi berikut:
1) Bahasa
digunakan untuk berbagai fungsi dan memiliki berbagai konsekuensi.
2) Bahasa adalah
baik dan konstruktif.
3) Fenomena yang sama
dapat digambarkan dalam beberapa cara
berbeda.
4) Akibatnya
akan ada variasi yang
cukup besar dalam penggambaran itu.
5) Tidak ada
cara yang sangat mudah namun penanganan ini bervariasi
atau membedakan yang 'literal' atau 'akurat' dari orang-orang yang retoris
atau tidak benar, sehingga menghindari
masalah yang bervariasi berarti menghadapi
para peneliti yang bekerja dengan model
bahasa yang lebih 'realistis'.
6) Cara-cara
konstruktif dan fleksibel di mana bahasa harus digunakan sendiri menjadi subjek utama
studi (Potter dan Wetherell,
1987: 35).
b.
Ciri Khas
Analisis wacana adalah sebuah pendekatan
atau sikap daripada metode. Dalam hal menentukan atau merekomendasikan prosedur
untuk melakukan studi penelitian, analis wacana menempatkan paling berat pada
kapasitas peneliti untuk memahami ide analisis wacana, bukan atasnya atau
kesediaannya untuk menguasai teknik penelitian tertentu.
Analisis
wacana menolak penggunaan
metode realis dalam
ilmu sosial, yang bertujuan untuk
mencerminkan realitas ekstra-linguistik
dengan mencari pola dalam bahan empiris. Hal ini
berlaku untuk kedua metode kuantitatif
dan kualitatif, dimana idenya
adalah untuk mengurangi perbedaan-perbedaan
dan ambiguitas dengan memaksa orang terbatas alternatif
responnya (kuesioner, percobaan),
atau dengan membiarkan mereka berbicara
atau bertindak lebih atau kurang
secara bebas (wawancara terbuka, observasi lapangan).
c.
Langkah-langkah
Pelaksanaan
Orang
menginterpretasikan obyek-obyek dengan cara-cara yang bermakna, dan dengan
demikian membentuk citra mental tentang obyek-obyek itu. Unsur-unsur primer
dalam pembicaraan adalah: (a) lambang; (b) hal yang dilambangkan/rujukan; (c)
interpretasi yang menciptakan lambang yang bermakna.
Van dijk
membaginya ke dalam tiga tingkatan: (a) Struktur makro, ini merupakan makna
global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik dari suatu
teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu
peristiwa; (b) Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan
elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh; dan (c) Struktur mikro adalah
makna yang dapat diamati dengan menganalisa kata, kalimat, proposisi, anak
kalimat, parafrase yang dipakai, dan sebagainya.
Struktur Wacana
|
Hal
yang Diamati
|
Unit Analisis
|
Struktur
makro
|
TEMATIK
(Apa yang dikatakan?)
Elemen: Topik/tema
|
Teks
|
Superstruktur
|
SKEMATIK
(Bagaimana pendapat disusun dan
dirangkai?)
Elemen: Skema
|
Teks
|
Struktur
mikro
|
SEMANTIK
(Apa arti pendapat yang ingin
disampaikan?)
Elemen: Latar, detail,
ilustrasi, maksud, pengandaian, penalaran
|
Paragraf
|
Struktur
mikro
|
SINTAKSIS
(Bagaimana pendapat
disampaikan?)
Elemen: Koherensi,
nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti
|
Kalimat proposisi
|
Struktur
mikro
|
LEKSIKON
(Pilihan kata apa yang
dipakai?)
Elemen: Kata kunci (keywords),
pemilahan kata
|
Kata
|
Struktur
mikro
|
RETORIS
(Dengan cara apa pendapat
disampaikan?)
|
Kalimat proposisi
|
Menurut Alvesson &
Skolberg (2000) peneliti harus
mempertimbangkan laporan wawancara,
dokumen tertulis dan berbicara secara spontan (ditulis dalam kasus observasi partisipatif), dengan asumsi sampai batas yang bervariasi ini dapat diartikan pada
tiga tingkatan:
1.
Tingkat diskursif,
di mana bahasa digunakan
dan modus ekspresif tidak ditafsirkan sebagai sesuatu yang lain (misalnya, mencerminkan kondisi
eksternal atau benak para pengguna bahasa), tetapi objek studi itu
sendiri. Apa yang kemudian
menarik, antara lain, adalah cara orang yang berbeda dalam konteks yang berbeda mengekspresikan
diri tentang masalah ide-ide
mereka, motif orang lain, peristiwa dan sebagainya.
2.
Tingkat ideasional,
di mana peneliti berbicara
tentang konsepsi, nilai, kepercayaan, ide, makna dan fantasi, berdasarkan
interpretasi dari ucapan-ucapan selama wawancara dan dalam situasi alami.
3.
Tingkat tindakan dan
kondisi sosial,
dimana penelitian ini bertujuan untuk
mengatakan sesuatu yang solid tentang hubungan, perilaku, peristiwa, pola
sosial dan struktur 'luar
sana', tanpa harus dianggap berasal dari karakter objektif atau kuat, tetap
mengacu pada sesuatu yang tidak bisa hanya dianggap sebagai bahasa atau
sebagai 'konsepsi subjektif' bagian dari individu-individu belajar atau kolektif.
3.
Analisis
Naratif (Narrative Analysis)
a.
Pengertian dan
Landasan Filosofis
Salah satu tokoh kunci dalam psikologi naratif telah Jerome Bruner
(1986, 1990). Naratif diartikan sebagai cerita tentang kehidupan seseorang
sejak awal, tengah dan akhir sehingga bisa diceritakan dalam berbagai latar
peristiwa dan bisa berkaitan dengan peristiwa nyata. Analisis naratif adalah
analisis yang tidak baku, hampir selalu intuitif, dan biasanya berpijak pada
sudut pandang pencerita.
Pendekatan ini
sedikit banyak dipengaruhi oleh tradisi analisis konten atau sistem pengkodean
dalam penelitian sosiologis kuantitatif. Hasil yang diperoleh cenderung berkutat
pada persoalan dimensi ‘kemanusiaan’ dan dimensi ‘kultural’ di dalam konteks
lembaga dan bukan menjelaskan kehidupan seorang pribadi.
b.
Ciri Khas
Ide kunci dalam analisis naratif adalah
bahwa orang sebagian besar memahami pengalaman mereka, dan berkomunikasi
tentang pengalaman mereka kepada orang lain dalam bentuk cerita. Sedangkan ide
sentral, bahwa dalam analisis naratif adalah bahwa kisah yang diceritakan oleh
informan (terteliti) dapat dijadikan sumber data utama.
c.
Jenis Analisis
Naratif
Menurut Denzin dan Lincoln (2009) dalam
analisis naratif ada dua pendekatan yang digunakan yaitu:
1)
Pendekatan
‘atas-bawah’ (top-down)
Peneliti dibekali dengan serangkaian
aturan dan prinsip, pencarian makna teks dilakukan dengan mempergunakan aturan
dan prinsip tersebut. Misalnya ketika menggunakan etnograf, sebuah program di
dalam analisis naratif, sebuah peristiwa Revolusi Rusia mestilah direduksi atau
disederhanakan ke dalam serangkaian proposisi. Peristiwa memerlukan prasyarat
atau sebab misalnya ‘kelaparan’.
2)
Pendekatan
‘bawah-atas’ (bottom-up)
Pendekatan ini menggunakan satuan-satuan
makna yang bergantung pada konteks yang menjelaskan efek dari suatu cerita.
Misal, Dwyer (1982) mempresentasikan materi penelitian dalam bentuk dialog
antara dirinya dengan seorang Faquir.
Laporan penelitian seperti ini diperoleh dari wawancara pribadi atau
dokumen-dokumen dimana proses penerjemahan materi ke dalam argumen yang koheren
tetap ambigu (Atkinson, 1992; Riessman, 1993).
d.
Langkah-langkah
Pelaksanaan
Menurut Riessman (dalam McLeod, 2001) metode
yang digunakan dibangun seperangkat prinsip dasar:
1)
Jadwal wawancara digunakan mendorong
informan untuk bercerita.
2)
Data wawancara dikumpulkan dari sejumlah
informan untuk memungkinkan pemahaman tentang pengalaman yang berbeda.
3)
Seorang informan kunci sedikit yang
dipilih cerita-ceritanya dapat dilihat sebagai 'khas' dari tema yang lebih luas
dalam data.
4)
Materi wawancara dari para informan kunci
terkena transkripsi rinci dan membaca dekat.
5)
Narasi dalam wawancara ini dipilih untuk
digunakan dalam makalah atau laporan.
6)
Kertas atau
laporan tertulis sekitar teks narasi utuh, yang direproduksi secara penuh.
7)
Tujuan
dari analisis ini adalah membantu pembaca untuk memahami arti pengalaman dari
informan.
Menurut Padgett (2004)
ada tiga pertanyaan mendasar yang berhubungan antara
penutur dan pendengar dalam memproduksi cerita:
1)
Mengenai status dari
cerita:
Di mana lembaga lokasi cerita itu?
Apakah mereka suka bercerita, atau cerita yang harus diceritakan,
atau mereka, menunjukkan kisah-kisah yang tidak bisa diceritakan? Siapa yang istimewa oleh cerita itu:
penutur, pendengar, pelaku, atau keluarga
atau teman yang mungkin muncul sebagai protagonis dalam cerita itu?
2)
Mengenai kontrol dari
cerita:
Siapa yang memiliki mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas mereka:
penutur, pendengar, pelaku, keluarga atau
teman yang mungkin muncul sebagai
protagonis, atau masyarakat sekitarnya? Apakah mungkin untuk mendapatkan kontrol dari mereka, yaitu pindah dari berdaya ke posisi yang lebih kuat?
3)
Mengenai tanggung jawab
atas cerita:
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat terkait
dengan pertanyaan mengenai
kontrol dari cerita: Jika cerita berbahaya, siapa
yang harus disalahkan dan siapa
yang harus memikul tanggung jawab?
4.
Semiotika
a.
Pengertian dan
Landasan Filosofis
Semiotika merupakan
suatu ilmu atau
metode analisis untuk
mengkaji tanda dan segala
hal yang berhubungan
dengan tanda. Kata “semiotik” sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion
yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir” tanda.
Contohnya, asap yang membumbung tinggi menandai adanya api. Semiotika berusaha menjelaskan
jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan
esensi, ciri-ciri, dan
bentuk suatu tanda,
serta proses signifikasi yang
menyertainya.
Tanda adalah
suatu yang mempresentasikan atau menggambarka sesuatu yang lain(di dalam benak
seseorang yang memikirkannya). Tanda terdiri atas dua materi dasar yakni
‘ekspresi’ (seperti kata,suara,atau simbol dan sebagainya) dan ‘konten/isi’
(makna atau arti) (Hjemlev dalam Danzin). Contoh janur melengkung di jalan
menandakan adanya pernikahan. Bendera putih dengan tanda (+) warna hijau
menandakan ada kematian dan lain-lain.
Semiotika sebenarnya
sudah tumbuh sejak
tahun 330-264 SM,
yaitu melalui kajian Zeno, tokoh aliran stoa yang berasal dari Kition di
pulau cyprus. Ia mengadakan penelitian lewat tanda-tanda tangis dan tertawa. Bermula
dari kajian Zeno tentang semiotika
tangis dan tawa
itulah ilmu semiotika
mulai dikembangkan. Seorang uskup
Roma yang hidup
sekitar abad kelima Masehi, Saint agustinus, sesudah
mengalami perubahan batin secara radikal dan ia bertobat kepada Tuhan untuk
menjadi manusia yang saleh dan alim.
Aliran semiotik
sistematis dipelopori oleh
dua tokoh terakhir,
yaitu Ferdinand de Sausure
dan Charles Sanders Pierce. Dalam
pandangan semiotik, Saussure memandang
bahasa sebagai suatu
sistem tanda. Sebagai
suatu tanda, bahasa mewakili
sesuatu yang lain
yang disebut makna.
Pengertian tanda memiliki sejarah
yang panjang yang bermula dalam
tulisan-tulisan Yunani Kuno. Dengan demikian, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu
yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik
dan semiologi. Charles Sanders Peirce
menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Tanpa tanda
manusia tidak dapat berkomunikasi.Studi tentang lambang (termasuk tanda) yang
merepresentasikan obyek (benda,gagasan, situasi, perasaan, kondisi) di luar
dirinya. Konsep ini terpadu dalam banyak teori yang berhubungan dengan bahasa,
wacana, dan kegiatan non-verbal. Makna muncul dar ihubungan segitiga (triad of
meaning): obyek (referent), pikiran (reference), dan lambang.Semantika, tentang
hubungan langsung antara lambang dan obyeknya.
Ferdinand de
Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di Eropa, dia
memperkenalkannya dengan istilah
semiologi sedangkan Charles Sanders Peirce
(1839-1914) mengembangkannya di
Amerika dengan menggunakan
istilah semiotik. Peirce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan
Saussure adalah cikal-bakal linguistik umum. Kedua
tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam
memahami dan menganalisis
sebuah disiplin dengan
menggunakan pendekatan semiotik.
b.
Ciri Khas
1)
Proses pemaknaan
tanda bersifat sosial dan sangat bergantung pada perspektif atau cara berfikir
peneliti.
2)
Tanda tidak
pernah sepenuhnya ‘lengkap’ karena memerlukan ‘interpretan’ atau konteks.
Interpretan merupakan tafsiran dari
seseorang berdasarkan objek
yang dilihatnya sesuai dengan
kenyataan yang menghubungkan antara
representamen dengan objek.
3)
Semiotika
mempelajari apa saja yang dianggap sebagai tanda dan menolak tanda yang
bersifat ‘absoulut’ karena makna bisa berubah setiap waktu.
4)
Peneliti
diharapkan memiliki pemahaman yang luas saat memberikan makna sebuah ‘tanda’.
5)
Pemaknaan tanda
berdasarkan pada pengetahuan budaya.
c.
Jenis-Jenis
Semiotik
Sampai saat ini,
sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang
(Pateda, dalam Sobur,
2004). Jenis -jenis semiotik
ini antara lain
semiotik analitik, diskriptif,faunal zoosemiotic, kultural,
naratif, natural, normatif, sosial, struktural. Semiotik analitik
merupakan semiotik yang
menganalisis sistem tanda.
Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi
ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan
sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun
ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik
faunal zoosemiotic merupakan semiotik
yang khusus memper hatikan sistem
tanda yang dihasilkan oleh
hewan. Semiotik kultural
merupakan semiotik yang
khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan
masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi
yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Semiotik natural atau
semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh
alam. Semiotik normatif merupakan semiotik
yang khusus membahas
sistem tanda yang
dibuat oleh manusia
yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang
khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia
yang berwujud lambang,
baik lambang kata
maupun lambang rangkaian kata
berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
DAFTAR RUJUKAN
Alvesson, M. dan
Skolberg, K. 2000. Reflexive Methodology:
New Vistas for Qualitative Research. London: Sage Publications Inc.
Denzin, N. K.
& Lincoln, Y. S. (Eds). 2000. Handbook
of Qualitative Research. California: Sage Publications.
Dey, I. 1993. Qualitative Data Analysis: A User-Friendly
Guide for Social Scientists. London: Routledge.
Mappiare-AT, A.
2009. Dasar-dasar Metodologi Riset
Kualitatif Untuk Ilmu Sosial dan Profesi. Malang: Jenggala Pustaka Utama
& FIP UM.
McLeod, J. 2001.
Qualitative Research in Counseling and
Psychotherapy. London: Sage Publication Ltd.
Padgett, Deborah
K. 2004. The Qualitative Research
Experience. Canada: Thomson Brooks/Cole.
Silverman, D.
1993. Interpreting Qualitative Data:
Methods for Analysing Talk, Text, and Interaction. London: Sage
Publications.