Ketika akan mencuci
tangan sebelum makan siang, seorang anak memutar keran dan meletakkan tangannya
di bawah pancuran, namun anak lainnya justru berteriak-teriak dan kesal.
Mengapa demikian? Seperti yang telah diulas sebelumnya, tingkah laku
tersebut sangat berkaitan erat dengan peristiwa yang terjadi di
lingkungannya. Penilaian tingkah laku
Fungsional (FBA) memberikan hipotesis tentang hubungan di antara jenis-jenis peristiwa
dan tingkah laku tertentu yang terjadi di lingkungan. Secara
spesifik, FBA dirancang untuk mendapatkan informasi tentang tujuan (fungsi)
sebuah tingkah laku bagi seseorang.
A.
FUNGSI TINGKAH LAKU (functions of behavior)
Bukti
yang diperoleh dari penelitian selama beberapa dekade menunjukkan bahwa baik
tingkah laku yang disukai atau tidak disukai, apakah itu mencuci tangan atau
hanya berteriak-teriak, itu dipelajari dan dipertahankan melalui interaksi
dengan lingkungan sosial dan fisik. Interaksi antara tingkah laku dan
lingkungan ini dijabarkan sebagai kontingensi penguatan positif atau negatif. FBA
bisa digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan sumber dari penguatan tingkah
laku yang negatif, sehingga hasilnya bisa digunakan sebagai dasar untuk
melakukan intervensi untuk menghilangkan terjadinya tingkah laku negatif
tersebut.
FBA
dirancang untuk mengidentifikasi hal-hal yang berfungsi sebagai penguat tingkah
laku tersebut. Penguat ini bisa berupa penguat sosial positif atau negatif yang
ditularkan oleh seseorang yang berinteraksi dengan orang tersebut, atau penguat
otomatis yang dihasilkan secara langsung oleh tingkah laku itu sendiri. Gagasan
yang melatar belakangi FBA adalah jika kontingensi penguatan ini bisa
diidentifikasi, maka bisa dirancang suatu intervensi untuk menghilangkan tingkah
laku yang bermasalah yang ada dan meningkatkan tingkah laku adaptif dengan cara
mengubah kontingensi-kontingensi tersebut. FBA mendorong dilakukannya
intervensi yang positif dan proaktif terhadap tingkah laku bermasalah.
1.
Penguatan Positif (Positive Reinforcement)
Reinforcement positif yang
dapat dijadikan sebagai intervensi untuk memperkuat tingkah laku bermasalah
dapat dibagi menjadi tiga reinforcement , yaitu 1) Social Positive
Reinforcement (Attention), 2) Tangible Reinforcement, 3) Automatic Positive Reinforcement, yang
dapat dilihat dalam kolom berikut:
Social Positive Reinforcement (Attention)
|
Tangible Reinforcement
|
Automatic Positive Reinforcement
|
Tingkah
laku bermasalah seringkali langsung
mendapatkan perhatian dari orang lain, seperti menoleh, terkejut, teguran,
usaha-usaha untuk menenangkan, menasihati, atau
mengalihkan perhatian; dan sebagainya. Reaksi ini dapat memberikan penguatan
positif terhadap tingkah laku yang bermasalah, dan tingkah laku yang
bermasalah tersebut akan terjadi lagi pada situasi yang sama. tingkah laku
bermasalah yang mendapat penguatan positif dalam bentuk reaksi dari orang
lain seringkali terjadi di sebuah situasi di mana tingkat perhatian sangat
rendah.
|
Sebagian besar
tingkah laku memungkinkan untuk masuk ke material-material penguat atau
stimulus lainnya. Perbuatan seperti menekan tombol remot TV untuk mengganti
acara yang disukai sudah bisa menimbulkan tingkah laku bermasalah dan
menghasilkan suatu penguatan. Seorang anak bisa jadi terus menangis dan
merengek sampai acara yang disukainya dikembalikan. tingkah laku bermasalah
bisa berkembang ketika tingkah laku tersebut secara konsisten menghasilkan
suatu peristiwa atau benda yang diinginkan. Hal ini seringkali terjadi karena
dengan memberikan benda tersebut akan menghentikan secara sementara tingkah
laku yang bermasalah tersebut (misalnya, rengekan), meskipun hal ini justru
membuat peluang terjadinya tingkah laku bermasalah tersebut terulang kembali
dan semakin besar.
|
Beberapa
tingkah laku tidak bergantung pada tindakan orang lain untuk bisa
menghasilkan sesuatu; beberapa tingkah laku bisa menghasilkan penguatnya
sendiri. Misalnya, menghisap jempol bisa jadi mengalami penguatan karena
adanya stimulasi fisik dari tangan atau mulut. Sebuah tingkah laku dikatakan
telah dilestarikan oleh penguatan otomatis yaitu ketika tingkah laku tersebut
terjadi dengan cara mengesampingkan penguatan sosial yang ada (misalnya,
tingkah laku tersebut tetap terjadi meskipun si pelaku sedang sendirian).
|
2.
Penguatan Negatif (Negative Reinforcement)
Social Negative Reinforcement (Escape)
|
Automatic Negatif Reinforcement
|
Sebagian besar
tingkah laku yang dipelajari adalah sebagai hasil dari efektifitas dalam
menghilangkan atau menunda peristiwa-peristiwa aversif. Tindakan menutup
telepon akan memutuskan interaksi dengan seorang telemarketer; penyelesaian
suatu tugas akan menghilangkan permintaan dari orang lain untuk menyelesaikan
tugas tersebut. tingkah laku bermasalah dapat dipertahankan/dilestarikan
dengan cara yang sama. tingkah laku seperti agresi; tingkah laku melukai diri
sendiri, dan gaya bicara yang aneh akan dapat menghentikan atau menghindari
interaksi yang tidak dinginkan dengan orang lain.
|
Stimulasi
aversif, seperti rasa sakit secara fisik atau kondisi yang tidak nyaman,
merupakan unsur yang memotivasi dalam memperkuat penghentiannya. Tingkah laku
yang secara langsung menghentikan stimulasi aversif akan dipertahankan oleh
penguatan negatif yang merupakan suatu hasil otomatis dari sebuah respon.
Misalnya, mengoleskan balsam di tempat yang terkena tanaman gatal dapat
diperkuat secara negatif oleh keinginan untuk menghilangkan rasa gatal di
kulit.
|
3.
Fungsi versus
Topografi
Topografi
tingkah laku yang sama dapat diterapkan pada fungsi-fungsi yang berbeda untuk
individu-individu yang berbeda. Misalnya, rengekan bisa jadi akan diperkuat
secara positif dalam bentuk perhatian yang diberikan pada seorang anak, dan
diperkuat secara negatif dalam bentuk pelarian diri ke anak yang lain. Oleh
karena itulah, penilaian terhadap fungsi tingkah laku akan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat yang dapat digunakan dalam menentukan intervensi
seperti apa yang paling tepat.
B.
PERANAN PENILAIAN FUNGSIONAL TINGKAH LAKU TERHADAP INTERVENSI DAN
PREVENSI
1.
FBA dan
Intervensi
Jika
hubungan sebab akibat antara peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan dan
sebuah tingkah laku dapat ditentukan, maka hubungan tersebut akan bisa diubah,
sehingga akan mengurangi peluang terjadinya tingkah laku bermasalah berikutnya.
Intervensi FBA bisa terdiri dari tiga strategi pendekatan: mengubah variabel
anteseden (sebelumnya), mengubah variabel konsekuen (akibat), dan mengajarkan
tingkah laku alternatif.
a.
Mengubah Variabel Anteseden
FBA
bisa mengidentifikasi anteseden-anteseden yang bisa diubah sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya tingkah laku yang bermasalah. Mengubah anteseden tingkah
laku bermasalah akan mengubah dan atau menghilangkan (a) hal yang memotivasi
tingkah laku bermasalah tersebut atau (b) stimulus diskriminatif yang memicu
tingkah laku bermasalah. Misalnya, hal yang memotivasi anak merengek-rengek
ketika diminta untuk mencuci tangan sebelum makan siang dapat dimodifikasi
dengan cara mengubah karakteristik-karakteristik yang berkaitan dengan kegiatan
makan siang, sehingga penghindaran terhadap suatu peristiwa tertentu tidak akan
memperkuatnya (misalnya, mengubah tatanan meja menjadi lebih sederhana,
mengatur jarak letak duduk, mengurangi makanan kecil sebelum makan siang, dan
menawarkan makanan yang diinginkan untuk makan siang). Dalam hal ini stimulus
yang menyebabkan masalah dalam tingkah laku dihilangkan, dengan demikian dapat
mengurangi tingkah laku bermasalah.
b.
Mengubah Variabel Konsekuensi
FBA
juga dapat mengidentifikasi sumber penguatan tingkah laku bermasalah yang ingin
dihilangkan. Misalnya, hasil FBA yang mengindikasikan bahwa rengekan anak itu
dipertahankan/dilestarikan oleh penguatan negatif sosial (penghindaran atau
pelarian diri) memberikan beberapa pilihan solusi, seperti berikut ini:
1) Tingkah laku
bermasalah tersebut dapat dihilangkan dengan cara memastikan bahwa hal
yang memperkuat (misalnya, menghindari makan siang) tidak akan
menghasilkan tingkah laku bermasalah berikutnya (rengekan).
2) Bisa
juga dilakukan pengubahan jadwal sehingga tindakan mencuci tangan akan
menghasilkan pelarian diri dari suatu peristiwa yang tidak begitu disukai.
c.
Mengajarkan tingkah laku
Alternatif
FBA
juga bisa mengindetifikasi tingkah laku
- tingkah laku alternatif seperti apa
yang bisa diterapkan sebagai pengganti tingkah laku yang bermasalah. Alternatif yang digunakan memiliki fungsi yang sama
(i.e., menghasilkan reinforcer yang sama) Misalnya, seorang siswa boleh
diajarkan untuk menyentuh sebuah kartu komunikasi “ later” setelah dia mencuci
tangannya sebagai penolakan/ penundaan saat duduk di meja makan.
2.
FBA dan Teknologi Default
Intervensi
yang dilakukan berdasarkan hasil FBA sampai saat ini dianggap masih yang paling
efektif dibandingkan lainnya. Mengetahui mengapa
suatu tingkah laku terjadi seringkali akan menghasilkan bagaimana tingkah laku tersebut bisa diubah menjadi lebih baik.
Identifikasi yang terlalu dini terhadap suatu tingkah laku sebelum kita
memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang tujuan dari dilakukannya suatu
tingkah laku hanya akan menghasilkan tindakan yang tidak efektif, tidak
efisien, dan bahkan justru berbahaya.
Sebagai
contoh, misalnya kita menerapkan prosedur
time out pada anak yang selalu
merengek ketika disuruh mencuci tangan sebelum makan siang, yaitu dengan
menghilangkan tindakan mencuci tangan dan langsung menyuruh si anak duduk di
kursi makan. Hal ini akan berarti bagi si anak bahwa rengekan merupakan
strategi yang jitu untuk menghindari suatu peristiwa. Dan suatu saat, strategi
ini akan meningkat, bahkan untuk menghindari kegiatan makan siang itu sendiri.
Sebagai akibatnya, pihak pengasuh, dalam hal ini orang tua, akan melakukan
intervensi yang bersifat intrusif, koersif, atau yang berbasis hukuman untuk
menghentikan rengekan tersebut. Intervensi inilah yang kita sebut sebagai
teknologi default.
FBA
dapat mengurangi penggunaan teknologi default ini dan memberikan solusi
intervensi yang lebih efektif dalam beberapa cara. Ketika kita menggunakan FBA,
maka intervensi yang dilakukan adalah yang berbasis pada penguatan, bukan
intervensi yang berbasis pada hukuman. Sebab intervensi berbasis penguatan akan
lebih tahan lama dibandngkan intervensi yang berbasis hukuman.
3.
FBA dan
Prevensi
Dengan
memahami kondisi yang melandasi suatu tingkah laku itu dilakukan, maka FBA juga
bisa memberikan tindakan prevensi agar hambatan-hambatan yang ada bisa
dihilangkan. Meskipun tingkah laku bermasalah bisa ditekan dengan menggunakan
prosedur hukuman, namun tingkah laku tersebut suatu saat akan muncul kembali,
sebab hal yang memotivasi tingkah laku tersebut belum hilang. Misalnya, hukuman
berupa tidak boleh makan siang memang akan menghilangkan rengekan saat mencuci
tangan, namun hukuman tersebut tidak menghilangkan anggapan bahwa penghindaran
merupakan penguat bagi suatu peristiwa yang tidak diinginkan. Dengan demikian,
tingkah laku lainnya yang menghasilkan penghindaran akan muncul dan berkembang,
seperti agresi, perusakan barang, atau melarikan diri. Efek seperti inilah yang
ingin dihindari ketika kita menggunakan intervensi yang berbasis pada fungsi
penguat tingkah laku yang bermasalah.
C.
PENINJAUAN TERHADAP METODE-METODE FBA
Metode
FBA bisa diklasifikasikan ke dalam tiga jenis: (a) analisis fungsional
(eksperimental), (b) penilaian deskriptif, dan (c) penilaian tidak langsung.
Metode ini bisa dilakukan secara mandiri atau secara berkelanjutan. Memilih
metode atau gabungan metode yang terbaik memerlukan pertimbangan terhadap
kelebihan dan keterbatasan dari masing-masing metode
1.
Analisis Fungsional (Eksperimental)
a.
Prosedur
Dasar
Pada
analisis ini, anteseden dan konsekuen yang terepresentasi dari lingkungan
sekitar seseorang diatur sedemikian rupa sehingga efek-efeknya terhadap tingkah
laku bermasalah akan bisa diamati dan diukur. Penilaian jenis ini seringkali
disebut sebagai sebuah analogi, sebab
anteseden dan konsekuen yang juga terjadi di rutinitas sehari-hari disajikan
secara sistematis, namun analisisnya tidak dilakukan pada konteks rutinitas
yang terjadi sehari-hari.
Kondisi
analogi seringkali dipergunakan sebab ia membuat pelaku analisis tingkah laku
bisa lebih mengontrol variabel-variabel lingkungan yang ada. Analogi ini
cenderung merujuk pada penyusunan variabel-variabel ketimbang pada setting
dilakukannya penilaian tersebut. Penelitian telah membuktikan bahwa analisis
fungsional yang dilakukan lingkungan sekitar (misalnya ruang kelas) akan
memberikan hasil yang sama (dan bahkan lebih jelas) dengan analisis yang
dilakukan pada setting simulasi.
b.
Interpretasi Terhadap
Analisis Fungsional
Fungsi tingkah laku
bermasalah bagi seseorang dapat ditentukan dengan melihat grafik hasil
analisis, dan kemudian bisa diidentifikasi kondisi-kondisi yang memiliki
tingkatan tertinggi dalam menunjang terjadinya tingkah laku tersebut. Grafik
untuk masing-masing potensi tingkah laku
bermasalah ini ditunjukkan pada Gambar 24.1. Di sini nampak bahwa potensi
tingkah laku bermasalah pada kondisi bermain adalah relatif rendah, sebab tidak
ada unsur pemotivasi dari tingkah laku bermasalah tersebut. Meningkatnya
tingkah laku bermasalah pada kondisi perhatian yang tidak tentu menegaskan
bahwa tingkah laku bermasalah dipertahankan/dilestarikan oleh penguatan positif
sosia.l (lihat grafik di atas bagian kiri pada Gambar 24.1).
Tabel 24.1 Memotivasi Operasi dan Kontigensi Penguatan Kontrol
dan Kondisi Uji yang Khas dari Analisis Fungsional.
Kondisi
|
Kondisi Antecedent
(memotivasi operasi)
|
Konsekuensi untuk tingkah laku bermasalah
|
Bermain
(kontrol)
|
Kegiatan yang terpilih terus menerus tersedia,
perhatian sosial yang diberikan, dan tidak menuntut ditempatkan pada
seseorang
|
Masalah tingkah laku diabaikan atau diarahkan secara
netral
|
Perhatian yang kontingen
|
Perhatian dialihkan atau disembunyikan dari orang
tersebut
|
Perhatian dalam bentuk teguran ringan atau
pernyataan yang menyejukan (misalnya: “Jangan melakukan itu, Engkau akan
menyakiti orang lain”)
|
Kemungkinan melarikan diri
|
Tuntutan tugas disampaikan terus menerus dengan
menggunakan tiga langkah yang mendorong prosedur (misalnya: (1) “Anda perlu
melipat handuk”, (2) Model lipat handuk, (3) Memberikan bantuan tangan untuk
melipat handuk)
|
Beristirahat dari tugas yang diberikan dengan
melepaskan bahan tugas dan menghentikan petujuknya untuk menyelesaikan tugas
|
Kesendirian
|
Rendahnya tingkat stimulasi lingkungan (yaitu:
terapis, bahan tugas, dan alat-alat permainan yang tidak ada)
|
Masalah tingkah laku diabaikan atau diarahkan secara
netral
|
Gambar
24.1 Pola-pola data yang khas dari setiap fungsi tingkah laku selaku melakukan analisi fungsional

c. Keunggulan analisis fungsional
Keunggulan
utama analisis fungsional adalah kemampuannya dalam menunjukkan dengan jelas variabel-variabel
yang berhubungan dengan terjadinya tingkah laku bermasalah. Bahkan, analisis
fungsional ini digunakan sebagai standar penelitian dalam mengevaluasi sistem
penilain-penilaian lainnya, dan memberikan metode-metode terapan yang paling
banyak digunakan dalam penelitian bidang tingkah laku bermasalah. Selain itu,
analisis ini merupakan alat yang paling memungkinkan dihasilkannya sebuah
solusi intervensi yang berbasis penguatan, dan meminimalisir penggunaan
intervensi yang berbasis hukuman.
d.
Keterbatasan Analisis Fungsional
1) Adanya
suatu resiko bahwa proses penilaian yang dilakukan bisa memperkuat secara
sementara atau meningkatkan tingkah
laku yang tidak diinginkan ke tingkatan
yang dapat diterima.
2) Meskipun
masih sangat sedikit hal yang diketahui oleh para praktisi tentang
akseptabilitas prosedur analisis fungsional ini, penyusunan kondisi-kondisi
yang dijadikan acuan pada tingkah laku bermasalah justru bisa berbalik
kontraintuitif kepada orang-orang yang tidak memahami cara penggunaan dan tujuannya.
3) Beberapa
tingkah laku (misalnya, tingkah
laku yang jarang terjadi) tidak bisa
dianalisis dengan menggunakan analisis fungsional.
4) Analisis
fungsional yang dilakukan pada setting kondisi buatan kemungkinan tidak akan
bisa mendeteksi variebel-variabel yang berpengaruh pada terjadinya tingkah laku
bermasalah di lingkungan nyata.
5) Waktu,
usaha, dan tenaga profesional yang dibutuhkan untuk menjalankan dan
mengintepretasikan analisis ini seringkali menjadi hambatan dalam penerapan
hasil-hasil yang didapat pada tataran praktek.
2.
Penilaian tingkah laku Fungsional Deskriptif
Sebagaimana dengan analisis fungsional,
penilaian tingkah laku deskriptif fungsional menggunakan observasi
langsung terhadap tingkah laku ; tidak seperti analisis
fungsional, bagaimanapun, pengamatan yang dibuat di bawah kondisi yang terjadi
secara alami. Oleh karena itu, penilaian deskriptif melibatkan pengamatan
tingkah laku masalah dalam kaitannya dengan peristiwa yang tidak diatur secara
sistematis.
Ada tiga variasi penilaian
deskriptif:
a.
Perekaman ABC
(Anteseden-Behavior-Consequen) secara kontinyu
Dengan menggunakan perekaman
ABC secara kontinyu, pengamat bisa mencatat kejadian tingkah laku bermasalah
yang menjadi sasaran dan memilih peristiwa sehari-hari di lingkungan sekitar
selama periode waktu tertentu. Kode untuk anteseden, tingkah laku yang
bermasalah, dan konsekuensi bisa dikembangkan dengan mendasarkan pada informasi
yang diperoleh dari wawancara atau perekaman ABC secara naratif. Sebagai
contoh, dengan menggunakan wawancara dan perekaman naratif, Lalli, Browder,
Mace, dan Brown (1993) mengembangkan kode untuk stimulus dan respon yang
digunakan untuk merekam peristiwa anteseden dan peristiwa-peristiwa selanjutnya
(perhatian, penguatan nyata, pelarian) pada tingkah laku bermasalah yang
terjadi di aktifitas ruang kelas. Melalui metode ini, kejadian dari suatu
peristiwa tertentu diberi tanda pada lembar data (menggunakan interval parsial,
sampling waktu tertentu, atau pencatatan frekuensi) (lihat Gambar 24.2).
Peristiwa
lingkungan sekitar yang menjadi sasaran (anteseden dan konsekuensi) akan
dicatat kapanpun peristiwa tersebut terjadi, tanpa melihat apakah di dalamnya
terdapat tingkah laku yang bermasalah ataupun tidak. Data tersebut menunjukkan
bahwa tindakan merengek-rengek ( tingkah laku ) seringkali terjadi ketika para
siswa disuruh untuk mencuci tangan (anteseden); rengekan tersebut kemudian
seringkali diatasi dengan cara menghilangkan perintah yang sudah diberikan.
Gambar 24.2 Daftar
kumpulan sampel data untuk perekaman ABC
kontinyu.
Form Perekaman ABC
Pengamat: R. Van Norman
Waktu mulai: 9.30 AM Waktu berakhir: 10.15 AM
Tanggal: 25 Januari 2005
|
||
Anteseden
|
tingkah laku
|
Konsekuensi
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Daftar tugas/instruksi
Perhatian dialihkan
Interaksi sosial
Terlibat pada aktifitas yang disukai
Aktifitas yang disukai dihilangkan
Sendirian (tanpa perhatian/tanpa aktifitas
|
Marah-marah/merengek
Agresi
|
Perhatian sosial
Teguran
Perintah tugas
Akses ke hal yang disukai
Tugas dihilangkan
Perhatian dialihkan
|
Kelebihan Perekaman ABC
Penilaian
deskriptif berbasis perekaman kontinyu menggunakan ukuran-ukuran yang tepat
(sama dengan analisis fungsional), dan di beberapa kasus korelasi yang ada
merefleksikan suatu hubungan sebab akibat. Karena penilaian ini dilakukan pada
konteks terjadinya tingkah laku bermasalah, maka metode ini dapat memberikan
informasi yang bermanfaat untuk merancang analisis fungsional selanjutnya.
Selain itu, metode ini tidak perlu mengganggu rutinitas orang lain.
Keterbatasan
Perekaman ABC
Meskipun
metode ini dapat menunjukkan hubungan antara peristiwa tertentu dengan tingkah
laku yang bermasalah, namun pada kenyataannya hubungan tersebut sangat sulit
dideteksi. Oleh karena itu, maka untuk menganalisis data deskriptif tersebut
diperlukan penghitungan probabilitas/peluang bersyarat. Probabilitas bersyarat adalah kecenderungan munculnya tingkah laku
bermasalah yang menjadi target pada situasi yang ditetapkan. Berdasarkan Gambar
24.2 di atas, probabilitas bersyarat dari marah-marah/merengek dapat diolah
dengan menghitung (a) proporsi kejadian marah-marah yang diawali oleh adanya
anteseden berupa instruksi, dan (b) proporsi kejadian marah-marah dimana
konsekuensinya berupa penghilangan tugas.
b.
Perekaman ABC Naratif
Data yang dikumpulkan hanya ketika tingkah laku yang menarik diamati, dan
rekaman mencakup setiap peristiwa yang segera mendahului dan mengikuti tingkah
laku sasaran. Perekaman
ABC naratif merupakan sebuah bentuk dari penilaian deskriptif yang berbeda dari
perekaman kontinyu dimana pada metode ini (a) data dikumpulkan hanya ketika
tingkah laku yang menjadi target terjadi, dan (b) perekamannya bersifat terbuka
atau open-ended (semua peristiwa yang mendahului dan mengikuti terjadinya
tingkah laku bermasalah akan dicatat). Karena pencatatan data hanya dilakukan
ketika tingkah laku yang menjadi sasaran terjadi, maka metode ini tidak memakan
banyak waktu dibandingkan perekaman kontinyu.
Keterbatasan
perekaman naratif
Perekaman
naratif sangat jarang dilaporkan pada penelitian yang diterbitkan, oleh karena
itu penggunaannya untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi tingkah laku belumlah
ditetapkan. Namun demikian, perekaman ABC naratif mampu mengidentifikasi
hubungan fungsional yang tidak muncul karena anteseden dan konsekuensi yang
direkam hanyalah yang berhubungan dengan tingkah laku sasaran saja. Misalnya,
data ABC terkadang mengindikasikan sebuah hubungan antara perhatian rekan
sebaya dan gangguan, padahal perhatian rekan sebaya juga sering terjadi ketika
siswa tidak mendapatkan gangguan.
Keterbatasan
perekaman ABC naratif lainnya kemungkinan adalah tingkat keakuratannya. Jika
pihak pengamat tidak dilatih dengan baik, maka kemungkinan mereka akan salah
mengartikan dan menggunakan penilaian subyektif. Perekaman ABC naratif ini
tidak sesuai jika digunakan untuk mengumpulkan informasi awal yang digunakan
untuk analisis selanjutnya.
c. Scatterplots.
Prosedur untuk mencatat sejauh mana suatu tingkah laku sasaran terjadi
lebih sering pada waktu tertentu dari yang lain. Secara spesifik, metode ini membagi hari menjadi
beberapa bagian waktu (misalnya, rangkaian segmen 30 menitan). Untuk tiap-tiap
segmen waktu, pengamat menggunakan simbol yang berbeda-beda pada lembar
pengamatan untuk mengindikasikan apakah tingkah laku yang menjadi sasaran
terjadi sering, jarang, atau tidak terjadi sama sekali. Setelah data
dikumpulkan dalam beberapa periode hari, kemudian data tersebut dianalisis
untuk mengetahui pola-polanya.
Kelebihan
Scatterplot
Keunggulan
utama dari scatterplot adalah metode ini mampu mengidentifikasi periode waktu
saat terjadinya tingkah laku yang bermasalah. Informasi seperti ini tentu saja
sangat bermanfaat untuk mengetahui periode waktu di satu hari dan mengetahui
fungsi tingkah laku bermasalah yang menjadi sasaran.
Keterbatasan
scatterplot
Meskipun
scatterplot sering digunakan pada tataran praktek, namun masih sangat sedikit
yang diketahui tentang penggunaannya. Permasalahan lainnya adalah sangat sulit
memperoleh data yang akurat dengan menggunakan metode scatterplot, sehingga
sangat sulit untuk melakukan interpretasi terhadap hasil analisa datanya.
D. Penilaian Tingkah Laku Tidak Langsung
Metode ini menggunakan wawancara terstruktur, checklist, skala peringkat, atau kuesioner untuk mendapatkan
infromasi dari orang yang dekat (misalnya, guru, orang tua, pengasuh) dengan
orang yang memiliki tingkah laku bermasalah untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi
yang mungkin behubungan dengan tingkah
laku bermasalah. Metode ini disebut “tak langsung” sebab metode ini tidak melibatkan observasi
langsung terhadap tingkah laku bermasalah, namun hanya mencari
informasi-informasi berdasarkan apa yang diketahui orang lain.
Wawancara
digunakan secara rutin dalam penilaian. Tujuan dari wawancara adalah untuk
memperoleh informasi secara jelas dan objektif tentang tingkah laku bermasalah,
anteseden, dan konsekuensi. Kegiatan ini
juga menjelaskan konsekuensi dari
tingkah laku seperti ;kapan( berapa kali),
dimana (setting, aktivitas, peristiwa), dengan siapa, dan seberapa sering itu
terjadi, apa yang biasanya mendahului tingkah laku (anteseden), apa yang
dilakukan anak segera setelah tingkah laku (konsekuensi), dan langkah apa yang
sebelumnya telah diambil untuk mengatasi masalah, dan apa hasilnya. Skala tingkah laku bertingkat dirancang
untuk penilaian fungsional dengan meminta informan untuk memperkirakan sejauh mana tingkah laku terjadi dalam kondisi tertentu, dengan
menggunakan skala Likert (misalnya,
tidak pernah,jarang, biasanya, selalu).
Hipotesis tentang fungsi dari suatu tingkah laku didasarkan pada skor yang terkait dengan kondisi masing-masing. Fitur dari skala penilaian tingkah laku beberapa dirangkum dalam Tabel 24.2.
Kelebihan dari metode ini adalah bisa memberikan
sumber informasi yang bermanfaat yang bisa digunakan sebagai panduan proses
berikutnya, memberikan penilaian yang lebih obyektif, dan membantu dalam
mengembangkan hipotesis tentang variabel-variabel yang berhubungan dengan tingkah
laku bermasalah. Selain itu, karena observasinya tidak bersifat langsung, maka
metode ini dirasa lebih nyaman digunakan oleh sebagian orang.
Keterbatasan dari FBA tidak langsung adalah informan
mungkin tidak memiliki
ingatan
yang akurat
dan
bias dari
tingkah laku dan
kondisi di mana
itu
terjadi, sehingga kondisi-kondisi yang melatarbelakngi suatu tingkah laku bermasalah
menjadi sulit dipahami secara benar. Selain itu kurangnya data empiris yang valid
menjadikan motede ini tidak
direkomendasikan sebagai
sarana utama
untuk mengidentifikasi
fungsi
tingkah laku.
Tabel
24.2 Uraian Skala Penilaian Tingkah laku yang Digunakan
untuk Menilai Kemungkinan
Fungsi-fungsi Tingkah laku Bermasalah
Skala nilai tingkah laku
|
Fungsi yang dinilai
|
Format dan jumlah item
|
Contoh item dan kemungkinan fungsi
|
Motivation Assessment Scale (MAS)
|
Penguatan sensorik, pelarian,
perhatian, dan penguatan nyata/tangibel reinforcement
|
16 pertanyaan (masing-masing 4
untuk 4 fungsi), skala, selalu,jarang, tidak pernah, dan biasanyanya.
|
Apakah tingkah laku tersebut akan
muncul ketika anda bebicara dengan orang lain di ruang tersebut? (perhatian)
|
Motivation Analysis Rating Scale (MARS)
|
Penguatan sensorik, pelarian, dan
perhatian
|
6 pernyataan (masing-masing 2
untuk 3 fungsi), skala 4 poin dari selalu
sampai tidak pernah
|
Tingkah laku berhenti sesegera
ketika anda tidak lagi meminta orang tersebut melakukannya.
|
Problem Behavior Questionnaire (PBQ)
|
Perhatian rekan sebaya, perhatian
guru, menghindari perhatian rekan sebaya, menghindari perhatian guru, dan
penilaian terhadap peristiwa.
|
Pertanyaan, dengan rentang 7 poin.
|
Ketika tigkah laku bermasalah
terjadi, apakah rekan sebaya meresponnya secara verbal ataukah menertawai
siswa? (perhatian rekan sebaya)
|
Functional Analysis Screening Tool (FAST)
|
Penguatan sosial (perhatian, item
yg disukai), penguatan sosial (pelarian diri), penguatan otomatis oleh
stimulasi sensorik, penguatan otomatis dengan meredam rasa sakit.
|
Pernyataan ya atau tidak.
|
Ketika tingkah laku bermasalh terjadi,
apakah biasanya anda menenangkan orang tersebut ataukah mengalihkan
perhatiannya dengan aktifitas lain yg disukai?
|
Questions About Behavioral Function (QABF)
|
Perhatian, pelarian diri, non
sosial, bersifat fisik, nyata
|
Pernyataan, dengan rentang 4 poin
|
Partisipan yang terlibat dalam tingkah
laku tersebut mencoba untuk mendapatkan reaksi dari anda. (perhatian)
|
E. PENGKONDISIAN
PENILAIAN TINGKAH LAKU FUNGSIONAL
Berdasarkan kelebihan
dan keterbatasannya, FBA bisa dilakukan melalui empat tahapan proses:
1.
Mengumpulkan
informasi melalui penilaian tidak langsung dan deskriptif.
2.
Menginterpretasi
informasi yang didapat dari penilaian tidak langsung dan merumuskan hipotesis
tentang tujuan dari tingkah laku bermasalah tersebut.
3.
Menguji
hipotesis dengan menggunakan analisis fungsional.
4.
Mengembangkan
pilihan-pilihan intervensi yang bisa dilakukan berdasarkan fungsi dari tingkah
laku bermasalah.
1.
Mengumpulkan Informasi
Pengumpulan
informasi sering dilakukan diawal saat melakukan FBA dengan cara melakukan
wawancara dengan guru, orang tua, pengasuh, dan/atau orang yang dekat dengan si
subyek. Wawancara ini sangat membantu untuk mempersiapkan diri sebelum
melakukan pengamatan langsung pada subyek. Tahapan ini juga digunakan untuk
mengidentifikasi dan menentukan sasaran tingkah laku mana yang menjadi masalah,
mengidentifikasi dan menentukan anteseden dan konsekuen potensial yang akan
diamati, dan memperoleh gambaran umum tentang tingkah laku bermasalah tersebut
serta kekuatan yang dimiliki oleh si subyek. Wawancara ini juga bisa dijadikan
observasi awal apakah penelitian FBA lebih lanjut bisa dilakukan atau tidak.
Misalnya, jika diketahui (melalui wawancara dengan orang dekat) bahwa si subyek menderita radang
telinga yang kronis, maka penelitian inti FBA baru akan dijalankan jika si
subyek telah menerima perawatan medis yang memadai.
Wawancara
yang dilakukan terhadap subyek secara langsung juga bisa digunakan untuk
mengetahui apakah si subyek memiliki kendala penyampaian atau pemahaman
terhadap bahasa atau tidak. Pada tahapan ini, wawancara langsung sangat berguna
untuk mengetahui rutinitas sehari-hari yang dilakukan subyek dan mengetahui
kapan tingkah laku bermasalah tersebut terjadi. Jika sulit untuk diketahui
kapan tingkah laku bermasalah tersebut terjadi, maka bisa digunakan analisis
scatterplot untuk menentukan kapan penelitian tingkah laku lanjutan bisa
dimulai.
2. Interpretasi
Informasi dan Merumuskan Hipotesis
Hasil
yang didapat dari penilaian tidak langsung harus dianalisa untuk diketahui
pola-pola tingkah laku dan peristiwa-peristiwa di sekitar yang terjadi,
sehingga bisa dibentuk suatu hipotesis yang berkenaan dengan fungsi tingkah
laku bermasalah tersebut. Jika diketahui bahwa tingkah laku bermasalah paling
sering terjadi pada kondisi perhatian yang rendah dan tingkah laku bermasalah
ini menghasilkan suatu perhatian, maka bisa ditentukan hipotesis bahwa perhatian
yang diberikan meningkatkan tingkah laku bermasalah si subyek. Dalam menelaah
hasil penilaian dan menentukan hipotesis, pihak penganalisis harus selalu ingat
bahwa tingkah laku bisa juga memiliki fungsi lebih dari satu dan bahwa
topografi tingkah laku yang berbeda memiliki fungsi yang berbeda pula.
Pernyataan
hipotesis yang dibuat harus dalam bentuk format ABC (Anteseden-Behavior-Consequence). Secara khusus, bentuknya adalah:
anteseden yang memicu tingkah laku bermasalah, topografi tingkah laku
bermasalah, dan hal-hal yang meningkatkan konsekuen dari tingkah laku tersebut.
Hipotesis
|
Anteseden
|
Tingkah laku
|
Konsekuen
|
Melarikan
diri dari cuci tangan dan makan siang
|
Ketika
Tonisha dibisiki untuk mencuci tangan saat mau makan siang
|
Dia
menjerit dan marah
|
Menghentikan
cuci tangan dan makan siang dengan memberikan time-out
|
Penulisan
ke dalam format seperti ini sangat penting, sebab format ini akan menjaga pihak
penganalisis untuk tetap fokus dan berada di jalur observasi yang tepat.
3. Menguji
Hipotesis
Setelah
hipotesis ditentukan, maka selanjutnya bisa diterapkan analisis fungsional untuk
mengujinya. Analisis fungsional harus selalu mengandung suatu kondisi kontrol
yang berfungsi untuk meningkatkan frekuensi tingkah laku bermasalah yang paling
rendah. Berikut ini adalah contoh analisis pada kondisi bermain, yang terdiri
dari (a) ada banyak pilihan mainan dan permainan yang bisa dilakukan, (b) tidak
ada tuntutan, dan (c) perhatian yang diberikan ada secara terus-menerus.
Kemudian, dipilih kondisi-kondisi yang digunakan untuk menguji suatu hipotesis
tertentu. Misalnya, jika hipotesis utamanya adalah tingkah laku bermasalah ditingkatkan
oleh pelarian diri, maka yang perlu diterapkan adalah kondisi-kondisi pelarian
diri yang bersifat acak. Tidak boleh ada kondisi lain yang diterapkan selain
yang berhubungan dengan hipotesis. Sebab hal ini nantinya akan membuat bias
fokus dari observasi yang akan dilakukan, subyek akan memberikan respon yang
tidak dibutuhkan dalam analisis.
Salah
satu cara yang dapat digunakan dalam menguji hipotesis dengan menggunakan analisis
fungsional secara singkat. Teknik ini melibatkan implementasai satu sesi
sebagai kondisi kontrol dan satunya sebagai kondisi tes.

Gambar 24.3. Data hipotetis dari analisis fungsional
singkat terhadap rengekan Tonisha. Titik data yang tertutup/hitam merupakan
rengekan, sedangkan titik data yang terbuka/putih merupakan tanda untuk
berhenti/istirahat. Empat sesi yang pertama merupakan analisis fungsional
singkat, sedangkan sesi 5 sampai 7 merupakan pembalikan kontingensi.
4. Mengembangkan
Intervensi
Ketika
FBA telah selesai dilakukan, maka selanjutnya kita bisa menentukan
pilihan-pilihan intervensi yang bisa diterapkan. Intervensi ini bisa berbagai
macam bentuknya. Meskipun FBA tidak bisa menentukan intervensi mana yang paling
efektif untuk diterapkan, namun FBA mampu mengidentifikasi anteseden yang
memicu terjadinya tingkah laku bermasalah, tingkah laku buruk yang harus segera
dipulihkan, dan kontingensi penguatan mana saja yang bisa diubah.
Salah
satu cara yang paling efektif dalam menentukan intervensi adalah dengan
mereview hipotesis yang sudah terbukti untuk menentukan bagaimana kontingensi
ABC dapat diubah agar menghasilkan tingkah laku yang lebih positif.
F. Ilustrasi Contoh Kasus Pada Proses FBA
1. Brian
– Fungsi Berganda Tingkah laku Bermasalah
a). Mengumpulkan
Informasi
Brian merupakan anak
berusia 13 tahun yang didiagnosis memiliki keterlambatan pertumbuhan, kelainan
suka menantang, dan kelainan hiperaktif. Keterampilan kognitif dan adaptif nya
mengalami keterlambatan pertumbuhan tingkat menengah. Brian memiliki beberapa tingkah
laku bermasalah, misalnya suka menyerang/agresi, merusak benda-benda, dan suka
marah-marah. Serangan yang dilakukan Brian seringkali menimbulkan lebam-lebam
pada gurunya, dan tingkah lakunya yang suka merusak benda-benda dan suka
marah-marah sangat mengganggu aktifitas sehari-hari di dalam kelas.
Kemudian
guru Brian, Ibu Baker, melakukan Wawancara Penilaian Fungsional. Dari wawancara
tersebut Bu Baker melaporkan bahwa tingkah laku bermasalah Brian paling sering
muncul ketika dia diminta melakukan aktifitas yang menggunakan fisik dan paling
jarang muncul ketika melakukan aktifitas yang santai. Tingkah laku bermasalah
Brian juga muncul ketika dia diminta meninggalkan aktifitas yang dia sukai. Bu
Baker mengatakan bahwa Brian menggunakan ujaran yang kompleks (kalimat),
ancaman verbal (mengutuk) dan agresi, merusak benda-benda, dan marah-marah
dalam mengkomunikasikan apa yang ia inginkan dan ia butuhkan. Hasil dari
Penilaian ABC tersebut di sajikan pada Tabe 24.3 di bawah ini.
Tabel 24.3. Hasil penilaian ABC terhadap Agresi, Perusakan
Benda, dan Amarah
yang dilakukan
oleh Brian
Anteseden
|
Tingkah
laku
|
Konsekuensi
|
Perhatian orang dewasa dialihkan
kepada siswa yang lain; guru menolak ketika siswa ingin main Nitendo (dengan
mengatakan tidak boleh)
|
Berteriak pada guru “Itu tidak
adil! Mengapa anda membenci saya?!”
|
Mengatakan pada siswa untuk
“tenang”
|
Guru menghampiri siswa lainnya.
|
Memukul sofa, mencoba untuk
meninggalkan ruang kelas
|
Diberi pilihan aktifitas dan
peringatan verbal untuk tidak meninggalkan kelas
|
Perhatian guru beralih ke siswa
lain.
|
Berteriak “Berhenti!” ke siswa
yang lain.
|
Diredam oleh guru dengan
mengatakan “Jangan khawatir Brian, saya akan membereskan hal tersebut”.
|
Waktu untuk dongeng, guru
menghampiri siswa yang lain.
|
Tertawa keras sekali.
|
Diredam oleh guru dengan
mengatakan: “Hentikan!”
|
Waktu untuk dongeng, guru
mendengarkan siswa yang lain.
|
Menyela pembicaraan siswa lain
dengan berkata: “Hey, ini giliran saya. Saya tahu apa yang terjadi
selanjutnya!”
|
Diredam oleh guru: “Kamu harus
mendengarkan”
|
b).
Menginterpretasikan Informasi dan Merumuskan Hipotesis
Berdasarkan
wawancara dan penilaian ABC, fungsi dari tingkah laku bermasalah Brian masih
belum jelas. Oleh karena itu dihipotesiskan bahwa beberapa tingkah laku
bermasalah Brian dikembangkan oleh adanya pemberian perhatian oleh orang dewasa
dan pembolehan menggunakan benda-benda yang disukai. Hipotesis ini merupakan
hasil dari penilaian ABC, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar tingkah
laku bermasalah yang dimiliki Brian terjadi ketika tingkat perhatian dari orang
dewasa rendah atau ketika Brian tidak diijinkan untuk menggunakan benda-benda
yang disukainya. Hipotesis tentang kasus Brian ini disajikan pada Tabel 24.4.
Tabel
24.4 Pernyataan Hipotesis untuk kasus Brian
Hipotesis
Fungsi
|
Anteseden
|
Tingkah
laku
|
Konsekuensi
|
Mendapat perhatian dari orang
dewasa dan teman
|
Ketika perhatian dari orang dewasa
dan teman dialihkan dari Brian, maka...
|
Dia memiliki banyak tingkah laku yang
bermasalah, sehingga mengakibatkan...
|
Perhatian dari orang dewasa dan
teman
|
Dibolehkan menggunakan mainan dan
melakukan aktifitas yang disukai
|
Ketika akses untuk menggunakan
mainan dan melakukan aktifitas yg disukai dibatasi, maka...
|
Dia memiliki banyak tingkah laku yang
bermasalah, sehingga mengakibatkan...
|
Diberi akses ke mainan dan
aktifitas yang disukai
|
Melarikan diri dari tugas yang
sulit dan/atau tidak disukai.
|
Ketika Brian diminta melakukan
sesuatu yang sulit atau tidak disukai, maka...
|
Dia memiliki banyak tingkah laku
yg bermasalah, sehingga mengakibatkan...
|
Tugas tersebut dibatalkan.
|
c). Menguji Hipotesis
Selanjutnya,
dilakukan analisis fungsional terhadap Brian. Analisis fungsional dibentuk dari
kondisi yang sama dengan sebelumnya, dengan dua pengecualian. Pertama, kondisi
sendirian tidak dilakukan, sebab tidak ada alasan untuk meyakini bahwa tingkah
laku bermasalah Brian memiliki fungsi otomatis. Kedua, kondisi nyata yang tidak
pasti diberikan karena diyakini bahwa tingkah laku bermasalah tersebut
dilakukan Brian untuk mendapatkan benda dan aktifitas yang disukainya.
Hasil dari analisis
fungsional yang disajikan pada Gambar 24.4. Perlu dicatat bahwa tingkah laku
bermasalah tidak pernah terjadi pada kondisi waktu bermain, namun baru terjadi
pada ketiga kondisi yang diujikan (ketidakpastian perhatian, pelarian diri, dan
nyata). Hasil ini mengindikasikan bahwa tingkah laku bermasalah Brian
dilestarikan oleh pelarian diri, perhatian, dan akses pada benda yang disukai.
Pada saat kondisi bermain, ketika perhatian dan benda yang disukai tersedia
dihadapannya dan tidak ada perintah untuk melakukan tugas tertentu, tingkah
laku bermasalah Brian tidak pernah terjadi.
d). Mengembangkan
Intervensi
Berdasarkan analisis
fungsional di atas, diterapkan suatu intervensi yang berbasis multikomponen.
Dilakukan beberapa perubahan pada komponen-komponen intervensi, tergantung pada
konteksnya. Komponen-komponen tersebut disajikan pada Tabel 24.5. Contohnya,
ketika Brian diminta untuk melakukan tugas kerja, maka disarankan agar
diberikan kesempatan yang banyak kepada Brian untuk meminta istirahat. Selama
waktu santai, jika sebelumnya Brian diminta untuk main sendirian, maka kini
diatur agar kelas dapat bermain bersama, sehingga Brian akan dapat berinteraksi
dengan teman sebayanya. Brian juga diajari bagaiman cara meminjam mainan yang
benar kepada teman sebayanya. Brian diajari bagaimana meminta perhatian dari
guru dengan benar, dan guru disarankan untuk menuruti permintaan tersebut dan
jangan diabaikan.
Tabel
24.5. Ringkasan Komponen Intervensi pada kasus Brian
Pilihan intervensi untuk Fungsi
Perhatian
|
||||||
Intervensi
|
Anteseden
|
Tingkah laku
|
Konsekuensi
|
|||
Mengajarkan
tingkah laku yang baru (perhatian sosial)
|
Ketika
perhatian orang dewasa dan temannya dialihkan dari Brian, maka...
|
Dia
akan mengacungkan jarinya dan berkata “permisi..”
|
Orang
dewasa dan temannya akan memberikan perhatian pada Brian
|
|||
Mengajarkan
tingkah laku yang baru
|
Ketika
perhatian orang dewasa dan temannya dialihkan dari Brian, maka...
|
Dia
akan mengawasi pekerjaannya sendiri dan menyesuaikan dengan catatan guru...
|
Guru
akan memberikan waktu khusus jika dia memenuhi kriteria.
|
|||
Mengubah
anteseden
|
Saat
diberi tugas mandiri, orang dewasa akan memberikan perhatian kepada Brian
tiap 5 menit...
|
Untuk
meningkatkan kemampuan Brian dalam mengerjakan tugas-tugas secara mandiri..
|
Dan
hal ini memberikan kesempatan bagi orang dewasa untuk dapat memberikan pujian
dan perhatian pada tingkah laku yang tepat
|
|||
Mengubah
anteseden
|
Mengijinkan
Brian bermain dengan temannya saat waktu santai...
|
Untuk
meningkatkan kemampuan Brian agar bisa bermain dengan benar...
|
Dan
hal ini memberikan kesempatan bagi orang dewasa untuk dapat memberikan pujian
dan perhatian pada tingkah laku yang tepat
|
|||
Pilihan
intervensi untuk Fungsi Nyata/Tangible
|
||||||
Intervensi
|
Anteseden
|
Tingkah
laku
|
Konsekuensi
|
|||
Mengajarkan
tingkah laku yang baru
|
Ketika
akses untuk menggunakan mainan dan melakukan aktifitas yg disukai dibatasi,
maka...
|
Dia
akan berkata,”Tolong, bolehkah saya minta kembali mainan itu?”
|
Dan
guru akan memberikan akses kembali pada mainan dan aktifitas yang disukai.
|
|||
Pilihan
intervensi untuk Fungsi Pelarian Diri
|
||||||
Intervensi
|
Anteseden
|
Tingkah
laku
|
Konsekuensi
|
|||
Mengajarkan
tingkah laku yang baru
|
Ketika
Brian diminta melakukan sesuatu yang sulit atau tidak disukai, maka...
|
Dia
akan berkata “Boleh saya beristirahat sebentar?”
|
Dan
guru akan memberikan waktu istirahat bagi Brian.
|
|||
Mengubah
kontingensi penguatan
|
Ketika
Brian diminta melakukan sesuatu yang sulit atau tidak disukai, maka...
|
Dan
dia akan terlibat dalam beragam tingkah laku yang bermasalah.
|
Dia
akan diminta untuk melanjutkan tugasnya dan intervensi time-out dihentikan.
|
|||
2. Kaitlyn – Fungsi Perhatian untuk Tingkah
Laku Bermasalah
a). Mengumpulkan Informasi
Kaitlyn
berusia 12 tahun dan didiagnosa memiliki kelainan kurang perhatian /hiperaktif.
Dia juga diketahui memiliki kekurangan pada motorik halus dan kasarnya. Kaitlyn
selain bersekolah di kelas 6 sekolah umum, ia juga ikut dalam anak berkebutuhan
khusus. Dia seringkali menunjukkan tingkah laku yang tidak mengindahkan tugas yang
diberikan, seperti keluar dari bangkunya, mengganggu teman lainnya (misalnya,
menendang-nendang kaki temannya dari bawah meja), membuat keributan, dan
berbicara saat bukan gilirannya. Kemudian dilakukan Wawancara Penilaian
Fungsional dengan guru Kaitlyn, beliau mengatakan bahwa pada umumnya Kaitlyn akan sering
bertanya ketika dia diberi suatu tugas yang sulit. Guru tersebut juga
mengatakan bahwa Kaitlyn seringkali menjadi bingung ketika rutinitasnya diubah,
sehingga dia akan membutuhkan banyak bantuan. Karena hanya ada satu guru di
kelas dan menangani 25 murid, sehingga perhatian yang didapat Kaitlyn relatif
kecil, dan gurunya menyimpulkan bahwa Kaitlyn melakukan tingkah laku tersebut adalah untuk
mendapatkan perhatian.
b).
Menginterpretasikan
Informasi dan Merumuskan Hipotesis
Berdasarkan informasi
yang didapat dari wawancara dan penilaian ABC, dihipotesiskan bahwa tingkah laku Kaitlyn tersebut
bertindak sebagai fungsi perhatian. Hipotesis ini disajikan pada Tabel 24.6
berikut ini.
Tabel 24.6 Hipotesis
Berkaitan dengan Fungsi Tingkah
Laku
Di Luar Tugas Kaitlyn
Hipotesis
Fungsi
|
Anteseden
|
Tingkah Laku
|
Konsekuensi
|
Hipotesis utama – Mencari
perhatian dari orang dewasa
|
Ketika perhatian guru dialihkan
dari Kaitlyn...
|
Dia melakukan tingkah
laku di luar tugas yang diberikan,
sehingga...
|
Perhatian
guru (peredaman, bantuan)
|
Hipotesis alternatif – Melarikan
diri dari tugas akademis yang sulit
|
Ketika kaitlyn diminta mengerjakan
tugas akademis,...
|
Dia melakukan tingkah
laku di luar tugas yang diberikan,
sehingga...
|
Tugas
tersebut dihentikan atau dibatalkan.
|
c).
Menguji Hipotesis
Analisis
fungsional terhadap kasus Kaitlyn menunjukkan bagaimana kondisi-kondisi
analisis fungsional yang ada bisa dibangun untuk menguji berbagai macam
hipotesis. Analisis fungsional Kaitlyn terdiri dari kondisi bermain dan kondisi
pelarian diri. Namun demikian, beberapa kondisi perhatian kontingensi yang
berbeda juga diterapkan untuk menentukan apakah kondisi tersebut memicu
munculnya tingkah laku
yang bermasalah.
Hasil dari analisis
fungsional tersebut disajikan pada Gambar 24.5. tingkah laku di luar tugas sangat
jarang terjadi pada saat kondisi bebas bermain dan kondisi pelarian diri.
Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa Kaitlyn melakukan tingkah laku bermasalah untuk
melarikan diri dari tugas yang diberikan adalah tidak terbukti. Peningkatan tingkah laku bermasalah Kaitlyn
terjadi pada ketiga kondisi perhatian kontingensi. Data ini menegaskan bahwa tingkah laku Kaitlyn tersebut
bertindak sebagai fungsi perhatian tanpa memandang aktifitas apa yang tengah
dilakukannya.

Gambar 24.5 Hasil Analisis Fungsional Di Luar Tugas
Kaitlyn FP = free play
CA/FP = contingent attention during free
Play activities; CA/Easy = contingent
attention during easy academic activities; CA/Difficult = contingent attention during difficult
academic activities.
d).
Mengembangkan Intervensi
Kaitlyn
seringkali meminta perhatian secara verbal. Oleh karena itu, Kaitlyn diajarkan
untuk memonitor tingkah
lakunya,
baik yang sesuai tugas maupun yang di luar tugas, ketika dia diberi tugas
secara mandiri. Pada awalnya, Kaitlyn diajarkan untuk memonitor dirinya setiap
10 detik (ini merupakan waktu terlama bagi dirinya untuk tetap fokus pada
tugas). Guru memberinya penanda waktu getar, sehingga tidak mengganggu siswa
lainnya. Setiap penanda tersebut bergetar, Kaitlyn diminta untuk menandai
apakah dia masih fokus dalam tugas atau sudah di luar tugas. Kemudian Kaitlyn
memandang ke arah guru, jika dia masih fokus dalam tugas, maka guru akan
memberi senyuman dan tanda acungan jempol kepadanya.
3. DeShawn
– Fungsi Otomatis pada Tingkah Laku
Bermasalah
a). Mengumpulkan Informasi
DeShawn
adalah anak berusia 10 tahun dan didiagnosa mengidap autisme. Dia mengalami
keterlambatan pertumbuhan yang parah dan tidak dapat melihat/buta. Dia harus
minum obat resperidol
untuk mengendalikan tingkah
lakunya.
DeShawn seringkali melemparkan benda-benda yang ada di kelas, menjatuhkan
benda-benda dan bahan tugas dari atas meja, dan mengetuk-ngetukkan benda di
atas meja. Wawancara Penilaian Fungsional yang dilakukan tidak memberikan
informasi apa-apa, sebab gurunya mengatakan bahwa tingkah laku yang dilakukan DeShawn
tersebut tak dapat diprediksi terjadinya. Gurunya tidak mampu mengindentifikasi anteseden yang memicu
terjadinya tingkah laku
DeShawn tersebut. Namun demikian, dapat diketahui bahwa DeShawn sangat jarang
terlibat secara aktif dalam pelajaran. Misalnya, ketika guru membacakan sebuah
buku di kelas, dia tidak bisa ikut berpartisipasi, sebab dia tidak bisa melihat
gambarnya.
b). Menginterpretasikan
Informasi dan Merumuskan Hipotesis
Sangat
sulit untuk merumuskan sebuah hipotesis berdasarkan informasi yang terbatas
yang didapat dari guru dan pengamatan secara langsung. Karena DeShawn tidak nampak terlibat secara aktif
atau tertarik dengan kegiatan di kelas, maka dihipotesiskan bahwa tingkah laku DeShawn yang membuang,
menjatuhkan, dan membanting tersebut merupakan reinforce yang bersifat
otomatis.
c). Menguji Hipotesis
Analisis fungsi yang dilakukan terdiri dari
kondisi bermain, perhatian yang tidak tentu/kontingensi, dan kondisi pelarian
diri yang tidak tentu/kontingensi. Kondisi saat sendirian tidak diterapkan
karena tidak terdapat ruangan yang memadai agar bisa mengawasi dan memantau
DeShawn secara diam-diam. Hasil dari analisis fungsional ini disajikan pada
Gambar 24.6. Dari gambar tersebut nampak bahwa tingkah laku melemparkan,
menjatuhkan dan menyapukan benda-benda dilakukan oleh DeShawn pada semua
kondisi, menghasilkan sebuah pola yang tak dapat dipetakan. Hasil ini memang
bukanlah kesimpulan, namun menegaskan bahwa reinforcement otomatis merupakan
fungsi dari melempar, menjatuhkan, dan menyapukan benda-benda yang dilakukan
oleh DeShawn.

Gambar 24.6 Hasil Analisis Fungsional DeShawn
Kemudian kami
melakukan analisis penilaian untuk mengetahui stimulus apa yang paling memicu tingkah laku DeShwan tersebut.
Hasil dari analisis ini disajikan pada Gambar 24.7. DeShawn paling sering
memilih keripik kentang. Perlu dicatat bahwa DeShawn tidak pernah melemparkan
keripik kentang, ataupun benda-benda lain yang ada di dekat keripik kentang.
Hal ini mengindikasikan bahwa keripik kentang sangatlah disukai dan kemungkinan
berfungsi sebagai penguat yang bisa bersaing dengan tindakan melempar, menjatuhkan,
dan menyapukan benda-benda.

Gambar 24.7 Hasil dari Hal
yang Disukai DeShawn. Diagram batang tersebut menunjukkan
jumlah waktu bagi masing-masing stimulus yang dipilih. Garis grafik menandakan
jumlah detik rata-rata yang dihabiskan DeShawn untuk bermain-main dengan
masing-masing benda sebelum akhirnya dilemparkannya.
d). Mengembangkan Intervensi
Berdasarkan
hasil penilaian di atas, intervensi yang diberikan kepada DeShawn adalah dengan
memberikan sepotong keripik kentang agar dia mau berpartisipasi dalam kegiatan
kelas dengan baik. Selain itu, kegiatan dan rutinitas kelas dimodifikasi untuk
meningkatkan partisipasi DeShawn, dan kurikulum untuk DeShawn juga diubah
dengan menyertakan pendidikan yang lebih bersifat fungsional.
4.
Lorraine- Beberapa Topografi Yang Melayani Fungsi Ganda
Lorraine, 32 tahun mengalami berbagai
keterbelakangan mental. Dia memiliki diagnosis sindrom Down dan gangguan bipolar dengan gejala psikotik. Dia juga
mengalami kontrol kejang. Selain
itu kemampuan verbal-nya dan artikulasinya
rendah. Dia dikomunikasikan
melalui beberapa tanda-tanda, perangkat
komunikasi yang sederhana, gerak tubuh,
dan beberapa kata.
Lorraine telah tinggal
di kelompok terapi
selama 9 tahun. Gejala yang teramati dari
tingkah laku Lorrain diantaranya ketidakpatuhan dan agresi. FBA di fokuskan pada tingkah laku
ketidakpatuhan. Gejala Ketidakpatuhan
Lorraine adalah meletakkan kepalanya di atas meja, menarik diri dari orang, atau meninggalkan ruangan ketika permintaan terbuat dari padanya; terdiri dari menendang
orang lain, melempar benda orang lain, menggigit orang lain, dan meremas lengan orang
lain sangat keras, menggigit
lengannya, menarik rambutnya, atau mencubit kulitnya.
a).
Mengumpulkan Informasi
Wawancara
dilakukan dengan Lorraine, orang tuanya, dan staf lokakarya dan kelompok
terapi. Orang tua Lorraine mencatat bahwa beberapa masalah perilakunya
meningkat ketika perubahan dalam pengobatannya telah dilakukan. Staf mencatat
bahwa Lorraine lebih cenderung memiliki masalah perilaku di tempat terapi jika
banyak orang di sekitarnya. Staf Lokakarya juga mencatat bahwa ketidakpatuhan
telah meningkat segera setelah perubahan dosis dalam pengobatan 2 bulan
sebelumnya. Staf kelompok terapi mencatat bahwa mereka paling khawatir Lorraine
meninggalkan kelompok terapi ketika ia diminta untuk melakukan tugas
sehari-hari. Lorraine sering meninggalkan rumah kelompok dan tidak kembali
sampai polisi menjemputnya. Tetangga banyak yang mengeluh karena Lorraine akan
duduk di teras mereka selama berjam-jam sampai polisi datang.
Penilaian
ABC dilakukan di rumah lokakarya dan kelompok untuk menentukan apakah variabel
lingkungan berbeda di dua pengaturan. Pada lokakarya, Lorraine terlibat dalam
tugas perakitan perhiasan (yang dia dilaporkan menikmati), dan dia bekerja
dengan baik untuk 2 1/2 jam. Dia bekerja lebih baik ketika orang lain memperhatikan
dan sering menjadi meninggalkan tugas ketika ia diabaikan, namun, tidak ada
masalah menjadi tingkah laku diamati di tempat kerja. Pada kelompok rumah,
tingkah laku agresif diamati ketika staf diabaikan Lorraine.
b).
Menginterpretasi informasi dan Merumuskan Hipotesis
Beberapa
tingkah laku bermasalah Lorrain saling berhubungan saat terjadi pengubahan
dalam proses pengobatannya. Keputusan dokter untuk memberikan intervensi disesuikan
dengan peristiwa yang terjadi di lingkungan yang berhubungan dengan tingkah
laku yang bermasalah.
c).
Menguji Hipotesisis
Analisis
fungsional terdiri dari bermain bebas, perhatian kontingensi,
dan kondisi pelarian kontinjensi .
Karena masalah perilaku mungkin
telah mengalami fungsi yang berbeda,
masing-masing perilaku bermasalah diberi
kode dan grafik secara terpisah.
Ketidakpatuhan terjadi paling sering selama kondisi
kontingen melarikan diri dan jarang terjadi selama bermain bebas dan di perhatikan. SIB terjadi paling sering selama
kondisi kontingen perhatian dan jarang terjadi
selama bermain bebas atau kondisi
pelarian kontingen. Data ini menyarankan bahwa ketidakpatuhan melayani fungsi melarikan diri, dan
SIB disajikan fungsi perhatian.
d).
Pengembangan Intervensi
Intervensi
yang berbeda dikembangkan untuk
masalah perilaku karena hasil FBA menyarankan
bahwa perilaku melayani fungsi yang berbeda: Untuk mengatasi ketidakpatuhan, Lorraine diajarkan untuk meminta istirahat dari tugas-tugas sulit. Tugas yang dipecah menjadi
langkah-langkah sangat kecil. Lorraine
disajikan dengan hanya satu langkah
dari tugas pada
satu waktu. Setiap kali permintaan
tugas dibuat, Lorraine diingatkan bahwa dia bisa meminta istirahat (baik
dengan mengatakan "Bolehkah saya istirahat" atau dengan
menyentuh kartu istirahat).
Jika dia diminta istirahat,
bahan tugas telah
dihapus untuk jangka waktu singkat.
Kemudian mereka disajikan lagi. Jadi jika Lorraine terlibat dalam pelanggaran, dia tidak diizinkan untuk melarikan diri dari tugas. Sebaliknya ia diminta
melalui satu langkah tugas dan kemudian langkah
lain dari tugas dipresentasikan.
Awalnya, Lorraine diizinkan untuk sepenuhnya menghindari tugas tepat
jika dia diminta istirahat
setiap kali tugas dipresentasikan. Seiring waktu bagaimana pernah ia diminta untuk menyelesaikan meningkatnya jumlah
kerja sebelum istirahat diizinkan.
Intervensi untuk agresi terdiri dari mengajarkan cara Lorraine tepat untuk mendapatkan perhatian (misalnya, menekan seseorang di lengan dan berkata, "Maaf") dan mengajar staf kelompok terapi untuk secara teratur menghadiri ke Lorraine ketika dia membuat permintaan tersebut. Selain itu, karena artikulasi dia sangat rendah, terapis dapat memberikan buku komunikasi gambar untuk membantu Lorraine melakukan percakapan dengan orang lain. Buku komunikasi dapat digunakan untuk mengklarifikasi bila staf tidak mengerti.
Intervensi untuk agresi terdiri dari mengajarkan cara Lorraine tepat untuk mendapatkan perhatian (misalnya, menekan seseorang di lengan dan berkata, "Maaf") dan mengajar staf kelompok terapi untuk secara teratur menghadiri ke Lorraine ketika dia membuat permintaan tersebut. Selain itu, karena artikulasi dia sangat rendah, terapis dapat memberikan buku komunikasi gambar untuk membantu Lorraine melakukan percakapan dengan orang lain. Buku komunikasi dapat digunakan untuk mengklarifikasi bila staf tidak mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar