Minggu, 30 Oktober 2016

Jenis Umum dan Type Riset

Berbagai tradisi penelitian untuk menganalisis data kualitatif. Apakah mungkin sejumlah karakteristik prosedur analisis kualitatif bisa memuaskan untuk berbagai tujuan penelitian? Relevansi dan penerapan prosedur tentu saja tergantung sepenuhnya pada data yang akan dianalisis dan tujuan serta kegemaran dari peneliti.
Setelah mengidentifikasi keragaman perspektif, Tesch (1993:2) berhasil mengkategorikan riset kualitatif menjadi 3 orientasi dasar:
1.           Pendekatan berorientasi bahasa (language-oriented approaches)
Pendekatan ini tertarik pada penggunaan bahasa dan arti kata serta bagaimana orang berkomunikasi dan memahami interaksi mereka.
2.           Pendekatan deskriptif/interpretif (descriptive/interpretive approaches)
Pendekatan ini berorientasi untuk menyediakan deskripsi menyeluruh dan interpretasi dari fenomena sosial, termasuk makna bagi yang mengalaminya.
3.           Pendekatan membangun teori (theory-building approaches)
Pendekatan ini berorientasi untuk mengidentifikasi hubungan antara fenomena sosial.

Sebagai catatan bahwa kategori yang dimaksud di atas tidaklah diskret (tidak saling memisah satu dari yang lain). Tipe kualitatif berorientasi bahasa pun adalah bersifat deskriptif/interpretif, dan sebaliknya yang berorientasi deskriptif/ interpretif pun dapat membangun teori. Oleh karena itu, suatu riset kualitatif sesungguhnya tidak harus terpaku dalam salah satu kategori ancangan itu.
Menurut Mappiare (2009:99-100) tipe riset kualitatif yang bernama ‘Studi Kasus’ keilmuan sosial, meskipun pada dasarnya lebih bersifat deskriptif/interpretif, sudah terbukti darinya muncul teori besar (salah satunya Psikoanalisis yang dibangun oleh Freud). Contoh lain, tipe yang bernama ‘Analisis Percakapan’, ‘Analisis Naratif’ dan ‘Riset Dialogis’ meskipun penekanannya berorientasi bahasa, buktinya dapat dan bahkan tidak terhindar dari aktivitas deskriptif/interpretif, bahkan tidak jarang digunakan untuk membangun teori.

A.          KATEGORI REALISTIS
Menurut Mappiare (2009:100) kategori ini dapat menjadi acuan penentuan tipe kualitatif baik sebelum, bersamaan dengan, maupun setelah penemuan makna atas refleksi awal. Kategori ini dibagi: (1) berdasarkan ajang riset; (2) berdasarkan strategi analisis; dan (3) berdasarkan maksud khusus. Pada makalah ini pembahasan dikhususkan untuk menjabarkan tipe kualitatif berdasarkan ajang riset.
1.           Analisis Percakapan (Conversation Analysis)
a.           Pengertian dan Landasan Filosofis
Analisis percakapan adalah analisis cara orang berbicara, rutinitas percakapan mereka, menyediakan cara yang ampuh untuk mengidentifikasi dan menganalisis ‘praktek’ yang merupakan realitas kelompok/’lembaga’.
Analisis percakapan berawal dari pemikiran dari dua kelompok intelektual. Pertama, selama awal abad kedua puluh Wittgenstein (dan filsuf lainnya) berpendapat bahwa realitas sosial dan interpersonal yang dialami orang dalam hidup terutama dibangun melalui penggunaan bahasa. Seolah-olah hidup adalah 'permainan bahasa'. Kedua, kelompok sosiolog (terutama Amerika) pada 1950-an dan 1960-an memutuskan bahwa cara untuk memahami kehidupan sosial adalah untuk menganalisis strategi mikro yang digunakan orang untuk mengelola pertemuan antar pribadi dan kelompok. Sosiolog yang paling terkenal Erving Goffman yang menggunakan metafora dramaturgi sebagai sistem pengorganisasian utama untuk membongkar interaksi hal-hal kecil.
Pendekatan lain yang berpengaruh adalah etnometodologi, terkait dengan karya Harold Garfinkel. Etnometodologi berusaha untuk memahami proses penalaran mikro-sosial praktis dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Goffman dan etnometodologi tertarik untuk mengamati apa yang orang lakukan (dan juga mendengarkan apa yang mereka katakan tentang apa yang mereka lakukan). Tokoh kunci pengembangan analisis percakapan adalah Emmanuel Schelgoff dan Harvey Sacks (Silverman, 1998).

b.           Ciri Khas
Dasar dari analisis percakapan adalah gagasan bahwa ‘lembaga’ tersebut akan disusun dalam hal serangkaian ‘praktek’. ‘Praktek’ ini merupakan sarana sehari-hari di mana hubungan organisasi atau institusi kekuasaan, status dan kontrol terus dibangun bersama. Analisis cara orang berbicara, rutinitas percakapan mereka, menyediakan cara yang ampuh untuk mengidentifikasi dan menganalisis praktek yang merupakan realitas kelembagaan. Dalam analisis percakapan penting untuk menggunakan transkrip percakapan sebenarnya sebagai data, dan untuk menangkap tekstur halus dari dinamika percakapan, termasuk jeda, penekanan, dan interupsi.

c.           Langkah-langkah Pelaksanaan
Proses melakukan analisis percakapan melibatkan pengumpulan data primer dalam bentuk transkrip, dan kemudian memilih kutipan dari materi yang akan dianalisis. Kemudian, setelah analisis tersebut telah dilakukan, perlu untuk kembali ke transkrip untuk mencari bagian-bagian lain dari teks untuk mengkonfirmasi yang telah dihasilkan melalui fase analisis. Tujuannya adalah untuk memastikan, sejauh mungkin, bahwa analisis didasarkan pada data.
Heritage (dalam McLeod, 2001)
menjelaskan bahwa peneliti menggunakan beberapa konstruk atau prinsip saat analisis percakapan yakni:
1)           Organisasi turn-taking. Apa saja 'aturan' turn-taking? Apa yang terjadi ketika seorang pembicara berangkat dari 'aturan'? Dalam hal apa struktur praktek turn-taking mencerminkan nilai-nilai dan tujuan institusi?
2)           Apa jenis urutan percakapan dapat diamati? Biasanya akan ada pola yang berulang interaksi yang mengalir di seluruh bergantian beberapa percakapan. Sebagai contoh, satu urutan percakapan dianalisis terdiri 'pembukaan', diikuti dengan 'inisiasi masalah', menyebabkan 'pembuangan' (apa yang harus dilakukan tentang masalah) dan kemudian pindah ke 'penutupan'.
3)           Pilihan leksikal. Penutur memilih istilah deskriptif yang berbeda sesuai dengan konteks. Sebagai contoh, seorang klien psikoterapi mungkin menggunakan 'down' istilah dalam percakapan sehari-hari tetapi beralih ke 'tertekan' dalam konteks terapi.
4)           Interaksional asimetris. Percakapan yang paling biasa adalah 'simetris' dalam arti bahwa ada aturan implisit bahwa kedua (atau semua) peserta adalah sama dalam status/pengetahuan. Dengan biasa, percakapan sehari-hari dapat mengambil banyak bentuk tergantung pada situasi. Misalnya, dalam pertemuan antara dokter dan pasien dokter akan mengajukan pertanyaan dan pasien akan menjawab mereka. Jika pasien tidak mengajukan pertanyaan, dokter mungkin menghindari melakukannya sendiri.

2.           Analisis Wacana (Discourse Analysis)
a.           Pengertian dan Landasan Filosofis
Analisis wacana adalah sebuah pendekatan untuk mempelajari arti yang telah menjadi penting dalam beberapa tahun terakhir dalam psikologi sosial di Inggris. Tokoh kunci dalam gerakan analisis wacana adalah Jonathan Potter, Margaret Wetherell, Michael Billig, Ian Parker dan Derek Edwards. Analisis wacana dapat dilihat sebagai bentuk psikologi sosial yang mengambil beberapa ide dasar dan metode analisis percakapan tetapi diperpanjang ke daerah baru sementara pada saat yang sama sumber pengaruh seperti semiotika (Barthes, 1972).
Analisis wacana merupakan kritik terhadap pandangan-pandangan tradisional dalam penelitian bahasa. Agak naif untuk berpikir bahwa realitas sosial dapat digambarkan dengan tegas. Hal ini cukup jelas bahwa apa yang orang katakan dalam wawancara, secara tertulis, atau dalam setiap interaksi mereka, dapat berbeda dari apa yang benar-benar mereka 'pikir’, atau bahwa sikap dan perilaku tidak selalu cocok satu sama lain.
Masalahnya adalah agar dipahami dan bermakna, ucapan-ucapan selalu tergantung pada konteks tidak hanya dalam arti jelas bahwa orang mengekspresikan diri mereka secara berbeda, untuk rekan-rekan di tempat kerja, peneliti, atau di buku harian pribadi mereka (konteks sosial), tetapi karena apa yang orang katakan juga secara kontekstual bergantung pada tingkat yang lebih halus: mungkin akan terpengaruh oleh apa yang telah dikatakan sebelumnya dalam percakapan (dengan sendiri atau oleh orang lain seperti seorang pewawancara), atau dengan cara ucapan-ucapan diatur (konteks mikro). Cara bahasa digunakan tidak begitu banyak mencerminkan batin seseorang, melainkan dunia subjektif.
Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari makna pesan sebagai alternatif lain akibat keterbatasan analisis isi. Pertama, analisis isi konvensional pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat nyata (manifest), sedangkan analisis wacana justru berpotensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (laten). Kedua, analisis isi hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan seseorang (what)” tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana seseorang mengatakannya (how)”, sedangkan analisis wacana memandang teks sebagai suatu kesatuan isi.
Analisis wacana dimulai dari asumsi berikut:
1)       Bahasa digunakan untuk berbagai fungsi dan memiliki berbagai konsekuensi.
2)       Bahasa adalah baik dan konstruktif.
3)       Fenomena yang sama dapat digambarkan dalam beberapa cara berbeda.
4)       Akibatnya akan ada variasi yang cukup besar dalam penggambaran itu.
5)       Tidak ada cara yang sangat mudah namun penanganan ini bervariasi atau membedakan yang 'literal' atau 'akurat' dari orang-orang yang retoris atau tidak benar, sehingga menghindari masalah yang bervariasi berarti menghadapi para peneliti yang bekerja dengan model bahasa yang lebih 'realistis'.
6)       Cara-cara konstruktif dan fleksibel di mana bahasa harus digunakan sendiri menjadi subjek utama studi (Potter dan Wetherell, 1987: 35).

b.           Ciri Khas
Analisis wacana adalah sebuah pendekatan atau sikap daripada metode. Dalam hal menentukan atau merekomendasikan prosedur untuk melakukan studi penelitian, analis wacana menempatkan paling berat pada kapasitas peneliti untuk memahami ide analisis wacana, bukan atasnya atau kesediaannya untuk menguasai teknik penelitian tertentu.
Analisis wacana menolak penggunaan metode realis dalam ilmu sosial, yang bertujuan untuk mencerminkan realitas ekstra-linguistik dengan mencari pola dalam bahan empiris. Hal ini berlaku untuk kedua metode kuantitatif dan kualitatif, dimana idenya adalah untuk mengurangi perbedaan-perbedaan dan ambiguitas dengan memaksa orang terbatas alternatif responnya (kuesioner, percobaan), atau dengan membiarkan mereka berbicara atau bertindak lebih atau kurang secara bebas (wawancara terbuka, observasi lapangan).

c.           Langkah-langkah Pelaksanaan
Orang menginterpretasikan obyek-obyek dengan cara-cara yang bermakna, dan dengan demikian membentuk citra mental tentang obyek-obyek itu. Unsur-unsur primer dalam pembicaraan adalah: (a) lambang; (b) hal yang dilambangkan/rujukan; (c) interpretasi yang menciptakan lambang yang bermakna.
Van dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan: (a) Struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa; (b) Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh; dan (c) Struktur mikro adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisa kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai, dan sebagainya.

Struktur Wacana
Hal yang Diamati
Unit Analisis
Struktur makro
TEMATIK
(Apa yang dikatakan?)
Elemen: Topik/tema
Teks
Superstruktur
SKEMATIK
(Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai?)
Elemen: Skema
Teks
Struktur mikro
SEMANTIK
(Apa arti pendapat yang ingin disampaikan?)
Elemen: Latar, detail, ilustrasi, maksud, pengandaian, penalaran
Paragraf
Struktur mikro
SINTAKSIS
(Bagaimana pendapat disampaikan?)
Elemen: Koherensi, nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti
Kalimat proposisi
Struktur mikro
LEKSIKON
(Pilihan kata apa yang dipakai?)
Elemen: Kata kunci (keywords), pemilahan kata
Kata
Struktur mikro
RETORIS
(Dengan cara apa pendapat disampaikan?)
Kalimat proposisi

Menurut Alvesson & Skolberg (2000) peneliti harus mempertimbangkan laporan wawancara, dokumen tertulis dan berbicara secara spontan (ditulis dalam kasus observasi partisipatif), dengan asumsi sampai batas yang bervariasi ini dapat diartikan pada tiga tingkatan:
1.        Tingkat diskursif, di mana bahasa digunakan dan modus ekspresif tidak ditafsirkan sebagai sesuatu yang lain (misalnya, mencerminkan kondisi eksternal atau benak para pengguna bahasa), tetapi objek studi itu sendiri. Apa yang kemudian menarik, antara lain, adalah cara orang yang berbeda dalam konteks yang berbeda mengekspresikan diri tentang masalah ide-ide mereka, motif orang lain, peristiwa dan sebagainya.
2.        Tingkat ideasional, di mana peneliti berbicara tentang konsepsi, nilai, kepercayaan, ide, makna dan fantasi, berdasarkan interpretasi dari ucapan-ucapan selama wawancara dan dalam situasi alami.
3.        Tingkat tindakan dan kondisi sosial, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengatakan sesuatu yang solid tentang hubungan, perilaku, peristiwa, pola sosial dan struktur 'luar sana', tanpa harus dianggap berasal dari karakter objektif atau kuat, tetap mengacu pada sesuatu yang tidak bisa hanya dianggap sebagai bahasa atau sebagai 'konsepsi subjektif' bagian dari individu-individu belajar atau kolektif.

3.           Analisis Naratif (Narrative Analysis)
a.           Pengertian dan Landasan Filosofis
Salah satu tokoh kunci dalam psikologi naratif telah Jerome Bruner (1986, 1990). Naratif diartikan sebagai cerita tentang kehidupan seseorang sejak awal, tengah dan akhir sehingga bisa diceritakan dalam berbagai latar peristiwa dan bisa berkaitan dengan peristiwa nyata. Analisis naratif adalah analisis yang tidak baku, hampir selalu intuitif, dan biasanya berpijak pada sudut pandang pencerita.
Pendekatan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh tradisi analisis konten atau sistem pengkodean dalam penelitian sosiologis kuantitatif. Hasil yang diperoleh cenderung berkutat pada persoalan dimensi ‘kemanusiaan’ dan dimensi ‘kultural’ di dalam konteks lembaga dan bukan menjelaskan kehidupan seorang pribadi.

b.           Ciri Khas
Ide kunci dalam analisis naratif adalah bahwa orang sebagian besar memahami pengalaman mereka, dan berkomunikasi tentang pengalaman mereka kepada orang lain dalam bentuk cerita. Sedangkan ide sentral, bahwa dalam analisis naratif adalah bahwa kisah yang diceritakan oleh informan (terteliti) dapat dijadikan sumber data utama.

c.           Jenis Analisis Naratif
Menurut Denzin dan Lincoln (2009) dalam analisis naratif ada dua pendekatan yang digunakan yaitu:
1)          Pendekatan ‘atas-bawah’ (top-down)
Peneliti dibekali dengan serangkaian aturan dan prinsip, pencarian makna teks dilakukan dengan mempergunakan aturan dan prinsip tersebut. Misalnya ketika menggunakan etnograf, sebuah program di dalam analisis naratif, sebuah peristiwa Revolusi Rusia mestilah direduksi atau disederhanakan ke dalam serangkaian proposisi. Peristiwa memerlukan prasyarat atau sebab misalnya ‘kelaparan’.
2)          Pendekatan ‘bawah-atas’ (bottom-up)
Pendekatan ini menggunakan satuan-satuan makna yang bergantung pada konteks yang menjelaskan efek dari suatu cerita. Misal, Dwyer (1982) mempresentasikan materi penelitian dalam bentuk dialog antara dirinya dengan  seorang Faquir. Laporan penelitian seperti ini diperoleh dari wawancara pribadi atau dokumen-dokumen dimana proses penerjemahan materi ke dalam argumen yang koheren tetap ambigu (Atkinson, 1992; Riessman, 1993).

d.           Langkah-langkah Pelaksanaan
Menurut Riessman (dalam McLeod, 2001) metode yang digunakan dibangun seperangkat prinsip dasar:
1)          Jadwal wawancara digunakan mendorong informan untuk bercerita.
2)          Data wawancara dikumpulkan dari sejumlah informan untuk memungkinkan pemahaman tentang pengalaman yang berbeda.
3)          Seorang informan kunci sedikit yang dipilih cerita-ceritanya dapat dilihat sebagai 'khas' dari tema yang lebih luas dalam data.
4)          Materi wawancara dari para informan kunci terkena transkripsi rinci dan membaca dekat.
5)          Narasi dalam wawancara ini dipilih untuk digunakan dalam makalah atau laporan.
6)          Kertas atau laporan tertulis sekitar teks narasi utuh, yang direproduksi secara penuh.
7)          Tujuan dari analisis ini adalah membantu pembaca untuk memahami arti pengalaman dari informan.

Menurut Padgett (2004) ada tiga pertanyaan mendasar yang berhubungan  antara penutur dan pendengar dalam memproduksi cerita:
1)          Mengenai status dari cerita: Di mana lembaga lokasi cerita itu? Apakah mereka suka bercerita, atau cerita yang harus diceritakan, atau mereka, menunjukkan kisah-kisah yang tidak bisa diceritakan? Siapa yang istimewa oleh cerita itu: penutur, pendengar, pelaku, atau keluarga atau teman yang mungkin muncul sebagai protagonis dalam cerita itu?
2)          Mengenai kontrol dari cerita: Siapa yang memiliki mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas mereka: penutur, pendengar, pelaku, keluarga atau teman yang mungkin muncul sebagai protagonis, atau masyarakat sekitarnya? Apakah mungkin untuk mendapatkan kontrol dari mereka, yaitu pindah dari berdaya ke posisi yang lebih kuat?
3)          Mengenai tanggung jawab atas cerita: Pertanyaan-pertanyaan ini sangat terkait dengan pertanyaan mengenai kontrol dari cerita: Jika cerita berbahaya, siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus memikul tanggung jawab?

4.           Semiotika
a.           Pengertian dan Landasan Filosofis
Semiotika  merupakan  suatu  ilmu  atau  metode  analisis  untuk  mengkaji tanda  dan  segala  hal  yang  berhubungan  dengan  tanda.  Kata  “semiotik”  sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir”  tanda.  Contohnya,  asap  yang membumbung  tinggi menandai  adanya api. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik  menjelaskan  esensi,  ciri-ciri,  dan  bentuk  suatu  tanda,  serta  proses signifikasi yang menyertainya.
Tanda adalah suatu yang mempresentasikan atau menggambarka sesuatu yang lain(di dalam benak seseorang yang memikirkannya). Tanda terdiri atas dua materi dasar yakni ‘ekspresi’ (seperti kata,suara,atau simbol dan sebagainya) dan ‘konten/isi’ (makna atau arti) (Hjemlev dalam Danzin). Contoh janur melengkung di jalan menandakan adanya pernikahan. Bendera putih dengan tanda (+) warna hijau menandakan ada kematian dan lain-lain.
Semiotika  sebenarnya  sudah  tumbuh  sejak  tahun  330-264  SM,  yaitu melalui kajian Zeno, tokoh aliran stoa yang berasal dari Kition di pulau cyprus. Ia mengadakan penelitian lewat tanda-tanda tangis dan tertawa. Bermula dari kajian Zeno  tentang  semiotika  tangis  dan  tawa  itulah  ilmu  semiotika  mulai dikembangkan.  Seorang  uskup  Roma  yang  hidup  sekitar  abad  kelima Masehi, Saint agustinus, sesudah mengalami perubahan batin secara radikal dan ia bertobat kepada Tuhan untuk menjadi manusia yang saleh dan alim.
Aliran  semiotik  sistematis  dipelopori  oleh  dua  tokoh  terakhir,  yaitu Ferdinand  de  Sausure  dan Charles  Sanders  Pierce. Dalam  pandangan  semiotik, Saussure  memandang  bahasa  sebagai  suatu  sistem  tanda.  Sebagai  suatu  tanda, bahasa  mewakili  sesuatu  yang  lain  yang  disebut  makna.  Pengertian  tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam  tulisan-tulisan Yunani Kuno. Dengan demikian,  tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang  lain pada batas-batas  tertentu. Tanda  inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi.  Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda. Tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi.Studi tentang lambang (termasuk tanda) yang merepresentasikan obyek (benda,gagasan, situasi, perasaan, kondisi) di luar dirinya. Konsep ini terpadu dalam banyak teori yang berhubungan dengan bahasa, wacana, dan kegiatan non-verbal. Makna muncul dar ihubungan segitiga (triad of meaning): obyek (referent), pikiran (reference), dan lambang.Semantika, tentang hubungan langsung antara lambang dan obyeknya.
Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di Eropa,  dia  memperkenalkannya  dengan  istilah  semiologi  sedangkan  Charles Sanders  Peirce  (1839-1914)  mengembangkannya  di  Amerika  dengan menggunakan istilah semiotik. Peirce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah cikal-bakal linguistik umum. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam  memahami  dan  menganalisis  sebuah  disiplin  dengan  menggunakan pendekatan semiotik.

b.           Ciri Khas
1)          Proses pemaknaan tanda bersifat sosial dan sangat bergantung pada perspektif atau cara berfikir peneliti.
2)          Tanda tidak pernah sepenuhnya ‘lengkap’ karena memerlukan ‘interpretan’ atau konteks. Interpretan merupakan  tafsiran  dari  seseorang  berdasarkan  objek  yang dilihatnya  sesuai  dengan  kenyataan  yang menghubungkan  antara  representamen dengan objek.
3)          Semiotika mempelajari apa saja yang dianggap sebagai tanda dan menolak tanda yang bersifat ‘absoulut’ karena makna bisa berubah setiap waktu.
4)          Peneliti diharapkan memiliki pemahaman yang luas saat memberikan makna sebuah ‘tanda’.
5)          Pemaknaan tanda berdasarkan pada pengetahuan budaya.

c.           Jenis-Jenis Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda,  dalam  Sobur,  2004).  Jenis -jenis  semiotik  ini  antara  lain    semiotik  analitik,  diskriptif,faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural. Semiotik  analitik  merupakan  semiotik  yang  menganalisis  sistem  tanda.  Peirce  mengatakan bahwa semiotik  berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan  sebagai  lambang,  sedangkan makna adalah beban yang  terdapat dalam  lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem  tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal  zoosemiotic merupakan  semiotik  yang  khusus  memper hatikan  sistem  tanda  yang dihasilkan  oleh  hewan.  Semiotik  kultural  merupakan  semiotik  yang  khusus  menelaah  sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik  yang  khusus  menelaah  sistem  tanda  yang  dihasilkan  oleh  alam.  Semiotik  normatif merupakan  semiotik  yang  khusus  membahas  sistem  tanda  yang  dibuat  oleh  manusia  yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang  dihasilkan  oleh  manusia  yang  berwujud  lambang,  baik  lambang  kata  maupun  lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.



DAFTAR RUJUKAN

Alvesson, M. dan Skolberg, K. 2000. Reflexive Methodology: New Vistas for Qualitative Research. London: Sage Publications Inc.

Denzin, N. K. & Lincoln, Y. S. (Eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publications.

Dey, I. 1993. Qualitative Data Analysis: A User-Friendly Guide for Social Scientists. London: Routledge.

Mappiare-AT, A. 2009. Dasar-dasar Metodologi Riset Kualitatif Untuk Ilmu Sosial dan Profesi. Malang: Jenggala Pustaka Utama & FIP UM.

McLeod, J. 2001. Qualitative Research in Counseling and Psychotherapy. London: Sage Publication Ltd.

Padgett, Deborah K. 2004. The Qualitative Research Experience. Canada: Thomson Brooks/Cole.

Silverman, D. 1993. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text, and Interaction. London: Sage Publications.

Jenis Umum dan Type Riset

Berbagai tradisi penelitian untuk menganalisis data kualitatif. Apakah mungkin sejumlah karakteristik prosedur analisis kualitatif bis...