Definisi Motivasi Berprestasi
Schunk,
Pintrich dan Meece (2008: 4) menjelaskan bahwa motivasi berasal dari bahasa
latin yaitu movere (bergerak) atau sesuatu yang mendorong untuk bergerak, membuat individu
terus bekerja dan membantu untuk menyelesaikan tugas-tugas. Motivasi juga merupakan suatu proses yang tidak bisa di observasi secara
langsung, tetapi dapat disimpulkan
dari tindakan-tindakan misalnya dalam memilih tugas (choice), upaya yang dilakukan (effort)
dan dapat juga dari bahasa verbal yang terucap.
Salah
satu unsur dari motivasi adalah motif (motive,
alasan, atau sesuatu yang memotivasi). Menurut Morgan (dalam Sukadji, 2000)
motivasi dan motif sering dipakai dengan pengertian yang sama. Sedangkan
menurut Adi (1994: 154) motivasi merupakan daya gerak dari dalam diri manusia,
sedangkan motif merupakan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga bagi
munculnya suatu tingkah laku tertentu. Definisi tersebut memiliki pengertian
bahwa sebelum manusia melakukan suatu aktifitas tertentu, dibutuhkan motivasi
sebagai penggerak atau pendorong manusia untuk melakukan aktifitas tersebut.
Phil
(dalam Hikmah, 2012: 27) mendefinisikan bahwa “motivation is an attempt to explain the ‘why’ of behavior”
(motivasi adalah upaya untuk menjelaskan bagaimana suatu tingkah laku terjadi).
Menurutnya, “motivation is concerned with
goal-directed behavior, what is that pushes us towards certain forms of
behavior and not others” (motivasi berfokus pada perilaku yang diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu apa yang mendorong individu untuk
melakukan suatu perilaku dan bukan berfokus pada yang lainnya). Berdasarkan
beberapa pengertian motivasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai
suatu tujuan tertentu, dibutuhkan sejumlah proses yang dapat memotivasi
individu untuk melakukan aktifitas sebagai usaha untuk mencapai tujuan yang
ditetapkannya.
Motivasi
berperan sebagai sasaran dan sekaligus alat untuk mencapai prestasi yang lebih
tinggi. McClelland (dalam Pasiak, 2006: 226) menyebut keinginan berprestasi
merupakan kebutuhan dasariah manusia. Need
of achievement (kebutuhan untuk berprestasi) adalah kebutuhan asasi
layaknya makan dan minum. Berhasil atau berprestasi adalah kebutuhan yang harus
terpenuhi. Prestasi itu sendiri memiliki pengertian sebagai kemampuan nyata
yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang memengaruhi baik
dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar (Sardiman, 2001: 46).
Motivasi
memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar siswa karena berfungsi
mendorong, menggerakkan, mengarahkan kegiatan belajar, yang pada hakikatnya
motivasi diyakini sebagai penguat (reinforcement)
(Tim MGBK, 2010: 67). Motivasi adalah syarat mutlak untuk belajar (Purwanto,
1999: 72). Seseorang yang berhasil dalam mencapai tujuan belajarnya dapat
dilihat dari prestasi yang diraihnya. Tanpa motivasi, hasil belajar tidak akan
optimal dan stimulus belajar yang diberikan tidak akan berarti. Oleh karena
itu, motivasi memiliki peranan penting dalam membantu individu meraih
kesuksesan, salah satunya adalah motivasi berprestasi.
Motivasi
berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray pada tahun 1930-an (dalam
Davidoff, 1991: 37) yang di istilahkan dengan need for achievement dan dipopulerkan oleh McClelland dengan
sebutan “n-ach”, yang beranggapan bahwa
motif berprestasi merupakan virus mental, sebab merupakan pikiran yang
berhubungan dengan cara melakukan kegiatan dengan lebih baik daripada cara yang
pernah dilakukan sebelumnya. Jika sudah terjangkit virus ini mengakibatkan
perilaku individu menjadi lebih aktif dan individu menjadi lebih giat dalam
melakukan kegiatan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Teori yang membahas mengenai motivasi berprestasi menurut Murray dan McClelland
ini disebut teori nilai ekspektasi, dimana gagasan yang mendasari teori
ekspektasi adalah tingkah laku bermotivasi yang berasal dari kombinasi antara
kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu dan nilai-nilai dari
tujuan-tujuan yang hendak dicapai (Koeswara, 1995).
Motivasi berprestasi sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari, karena motivasi berprestasi akan mendorong individu untuk
mengatasi tantangan atau rintangan dan berkompetisi dengan baik sehingga akan
meningkatkan hasil kinerjanya. Individu yang menunjukkan motivasi berprestasi
menurut McClelland (dalam Danim dan Suparno, 2005: 31) adalah mereka yang task oriented dan siap menerima
tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi tugas-tugasnya dengan
beberapa cara, yaitu membandingkan dengan hasil kerja orang lain atau dengan
standar tertentu. Heckhausen (1967: 54) berpendapat bahwa motif berprestasi
diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan atau melakukan kecakapan pribadi
setinggi mungkin dalam segala aktivitas dan suatu ukuran keunggulan tersebut
digunakan sebagai pembanding, meskipun dalam usaha melakukan aktivitas tersebut
ada dua kemungkinan yakni gagal atau berhasil. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa
motivasi berprestasi merupakan motif yang mendorong individu untuk mencapai
sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan beberapa ukuran
keunggulan (standard of excellence).
Ukuran keunggulan digunakan untuk standar keunggulan prestasi yang dicapai
seseorang sebelumnya dan seperti dalam suatu kompetisi.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu
keinginan, motif dan usaha seseorang untuk mencapai prestasi terbaik dengan
cara mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki dalam berkompetisi dengan beberapa
ukuran keunggulan (standard of excellence)
dengan tujuan untuk meraih kesuksesan.
Karakteristik Individu dengan Motivasi
Berprestasi
McClelland
(1987: 246-249) mengungkapkan beberapa karakteristik individu yang memiliki
motivasi berprestasi, yaitu sebagai berikut:
a.
Mempunyai tanggung jawab
Individu
yang motivasi berprestasinya tinggi biasanya mempunyai tanggung jawab pribadi
baik terhadap dirinya maupun tanggung jawab terhadap pekerjaan atau
tugas-tugasnya. Hal tersebut terjadi karena hanya dengan kondisi itulah yang
membuat individu merasa puas dalam mengerjakan sesuatu yang lebih baik.
b.
Berorientasi untuk sukses
Individu
mampu mengelola kemampuan secara realistis dan cermat untuk mencapai tujuan
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan peningkatan prestasi dikemudian
hari. Oleh karena itu, individu yang mempunyai motivasi tinggi biasanya selalu
memperhitungkan segala resiko untuk setiap tindakan yang dilakukannya. Resiko
yang diambil akan disesuaikan dengan batas kemampuan individu.
c.
Membutuhkan umpan balik
Individu
selalu menuntut adanya umpan balik. Hal ini digunakan untuk mengetahui seberapa
berhasil usahanya dalam mengerjakan tugasnya.
d.
Inovatif
Pengertian
inovatif disini diartikan sebagai cara individu dalam mengerjakan pekerjaannya
dengan menggunakan cara yang berbeda dari cara sebelumnya, dengan waktu yang
lebih cepat, dengan cara yang lebih efisien, dan dengan hasil yang lebih baik.
Berdasarkan karakteristik yang
dikemukakan McClelland
(1987), dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yaitu siswa yang selalu
berusaha dan tidak mudah menyerah dalam berkompetisi sebab memiliki standar
prestasi yang tinggi, bertanggung jawab terhadap dirinya serta terhadap
tugas-tugasnya untuk mencapai tujuannya, menggunakan umpan balik untuk
menentukan tindakan yang efektif sehingga dapat mengetahui seberapa berhasil
tugas yang dikerjakan, senang akan kegiatan-kegiatan yang bersifat prestatif
dan kompetitif, mengambil tindakan-tindakan sesuai dengan batas kemampuannya,
mampu menerima kegagalan sebagai suatu hal yang wajar untuk dapat memperbaiki
diri agar menjadi lebih baik, serta kreatif dan inovatif dalam arti menyukai
cara-cara yang unik dalam menyelesaikan suatu masalah.
Aspek-Aspek Motivasi Berprestasi
Menurut
Atkinson (dalam Sukadji, 2001) motivasi berprestasi dapat tinggi atau rendah,
didasari pada dua aspek yang terkandung di dalamnya yaitu harapan untuk sukses
atau berhasil (motif of success) dan
juga ketakutan akan kegagalan (motive to
avoid failure). Seseorang yang memiliki harapan berhasil lebih besar
daripada ketakutan akan kegagalan dikelompokkan ke dalam mereka yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi, sedangkan seseorang yang memiliki ketakutan akan
kegagalan yang lebih besar daripada harapan untuk berhasil dikelompokkan ke
dalam mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah.
Faktor-Faktor Memengaruhi Motivasi
Berprestasi
McClelland
(dalam Sukadji, 2001) menjelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap motif berprestasi, yaitu:
a.
Harapan orangtua terhadap anaknya
Orangtua
yang mengharapkan anaknya bekerja keras dan berjuang untuk mencapai sukses akan
mendorong anak tersebut untuk bertingkah laku yang mengarah kepada pencapaian
prestasi. Dari penilaian diperoleh bahwa orangtua dari anak yang berprestasi
melakukan beberapa usaha khusus terhadap anaknya.
b.
Pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan
Adanya
perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang sering menyebabkan terjadinya
variasi terhadap tinggi rendahnya kecenderungan untuk berprestasi pada diri
seseorang. Biasanya hal itu dipelajari pada masa kanak-kanak awal, terutama
melalui interaksi dengan orangtua dan “significant
others”.
c.
Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan
Apabila
dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada pentingnya keuletan, kerja keras,
sikap inisiatif dan kompetitif, serta suasana yang selalu mendorong individu
untuk memecahkan masalah secara mandiri tanpa dihantui perasaan takut gagal,
maka dalam diri seseorang akan berkembang hasrat untuk berprestasi tinggi.
d.
Peniruan tingkah laku
Melalui
“observational learning” anak
mengambil atau meniru banyak karakteristik dari model, termasuk dalam kebutuhan
untuk berprestasi, jika model tersebut memiliki motif tersebut dalam derajat
tertentu.
e.
Lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung
Iklim
belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, memberi semangat dan sikap
optimisme bagi siswa dalam belajar, cenderung akan mendorong seseorang untuk
tertarik belajar, memiliki toleransi terhadap suasana kompetisi dan tidak khawatir
akan kegagalan.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
motivasi berprestasi seseorang yaitu pengaruh peranan dalam keluarga yang dapat
memengaruhi pola pikir individu, pengaruh lingkungan dan budaya tempat
seseorang dibesarkan, kemampuan intelektual yang dimiliki, serta pengalaman
yang diperoleh semasa hidup.
COGNITIVE
RESTRUCTURING (CR)
Definisi Cognitive Restructuring (CR)
Menurut
Cormier dan Cormier (dalam Nursalim, 2013: 32) cognitive restructuring pada awalnya dikemukakan oleh Lazarus
(1972), dan merupakan cabang dari Rational
Emotive Therapy (RET) yang dikembangkan oleh Ellis (1975). Menurut Oemarjoedi
(2003) cognitive restructuring merupakan
salah satu teknik Cognitive Behavior
Therapy (CBT) yang merupakan suatu cara yang dilakukan dengan tujuan untuk
menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan
ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini memengaruhi emosi
dan perilakunya.
Ditegaskan
pula oleh Sayre (2006: 1), yang menyatakan strategi cognitive restructuring merupakan serangkaian kegiatan meneliti dan
menilai keyakinan yang konseli miliki saat ini untuk memahami bagaimana
keyakinannya, apakah dinilai rasional atau tidak rasional (valid atau gugur)
melalui proses yang obyektif dari penilaian yang berhubungan dengan pikiran,
perasaan, dan tindakan.
Menurut
McKay dan Fanning (2000), cognitive
restructuring dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan
berpikir yang berupa kritik diri. Kemudian dilanjutkan dengan menata ulang
pikiran seseorang dengan menyangkal kritik diri tersebut. Pikiran negatif sulit
diketahui karena pikiran tersebut erat dengan cara seseorang memandang suatu
realitas. Bila individu terus berpikir negatif maka pikiran tersebut dapat
mengontrol pikiran individu sehingga konsekuensinya individu akan merasa cemas,
takut, tidak aman, dan sulit menghadapi permasalahannya.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa cognitive
restructuring adalah suatu proses merubah kesalahan pikiran siswa sehingga
menjadi pemikiran yang realistis, dilakukan oleh konselor dengan tujuan membantu
siswa dalam mencari alternatif pikiran.
Tahapan-Tahapan Prosedur Cognitive Restructuring (CR)
Comier
dan Comier (dalam Nursalim, 2013: 32) merangkum tahapan-tahapan prosedur CR ke
dalam enam bagian sebagai berikut:
a.
Rasional: tujuan dan tinjauan singkat prosedur
Rasional
digunakan untuk memperkuat keyakinan konseli bahwa “pernyataan diri” dapat
memengaruhi perilaku, dan khususnya pernyataan-pernyataan diri negatif atau
pikiran-pikiran menyalahkan diri dapat menyebabkan tekanan emosional. Suatu
rasional dapat berisikan penjelasan tentang tujuan, gambaran singkat prosedur
yang akan dilaksanakan, dan pembahasan tentang pikiran-pikiran diri positif dan
negatif.
b.
Identifikasi pikiran konseli dalam situasi problem
Setelah
konseli menerima rasional yang diberikan, langkah berikutnya adalah melakukan
suatu analisa terhadap pikiran-pikiran konseli dalam situasi yang mengandung
tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan. Tahap ini dapat berisikan tiga
kegiatan sebagai berikut:
1)
Mendeskripsikan pikiran-pikiran konseli dalam situasi
problem
Dalam
wawancara, konselor dapat bertanya kepada konseli tentang situasi-situasi yang
membuatnya menderita atau tertekan dan hal-hal yang dipikirkan konseli ketika
sebelum, selama, dan setelah situasi berlangsung.
2)
Memodelkan hubungan antara peristiwa dan emosi
Jika
konseli telah mengenali pikiran-pikiran negatifnya yang mengganggu, konselor
selanjutnya perlu menunjukkan bahwa pikiran-pikiran tersebut berhubungan dengan
situasi yang dihadapi dan emosi yang dialami kemudian, dan konselor perlu
meminta konseli untuk mencatat hubungan tersebut secara eksplisit. Jika konseli
masih gagal untuk mengenali pikirannya, konselor dapat memodelkan hubungan
tersebut dengan menggunakan situasi konseli atau situasi yang berasal dari
kehidupan konselor.
3)
Pemodelan pikiran oleh konseli
Konselor
dapat pula meminta konseli mengidentifikasi situasi-situasi dan pikiran-pikiran
dengan memonitor dan mencatat peristiwa dan pikiran-pikiran di luar wawancara
konseling dalam bentuk tugas rumah. Dengan menggunakan data konseli tersebut,
konselor dan konseli dapat menetapkan manakah pikiran-pikiran negatif dan
manakah pikiran-pikiran yang positif. Konselor dapat pula mencoba meminta
konseli untuk memisah antara dua tipe pernyataan diri dan mengenali mengapa
satu pikirannya negatif dan yang lain positif. Identifikasi ini mengandung
beberapa maksud, untuk menetapkan apakah pikiran-pikiran yang disajikan konseli
berisikan pernyataan diri negatif dan positif. Data tersebut juga memberikan
informasi tentang derajat tekanan yang dialami konseli dalam situasi yang
dihadapi, jika beberapa pikiran positif telah diidentifikasi, konseli akan
menyadari adanya alternatif untuk mengubah pikirannya. Jika tidak ada pikiran
positif yang dikemukakan, ini merupakan petunjuk bahwa konselor perlu
memberikan perhatian khusus. Konselor dapat menyatakan tentang bagaimana suatu
pikiran negatif dapat diubah dengan cara memperlihatkan bagaimana
pikiran-pikiran yang merusak diri dapat dinyatakan kembali dengan cara yang
lebih konstruktif (Fremouw, 1978).
c.
Pengenalan dan latihan Coping
Thoughts (CT)
Pada
tahap ini terjadi perpindahan fokus dari pikiran-pikiran konseli yang merusak
diri menuju ke bentuk pikiran lain yang lebih konstruktif (pikiran yang tidak
merusak diri). Pikiran-pikiran yang lebih konstruktif ini disebut sebagai
pikiran yang menanggulangi (Coping
Thought = CT) atau pernyataan
yang menanggulangi (Coping Statement
= CS) atau intruksi diri yang menanggulangi (Coping Self-Instruction = CSI). Semuanya dikembangkan untuk
konseli. Pengenalan dan pelatihan CS tersebut penting untuk mendukung keberhasilan
seluruh prosedur cognitive restructuring.
Ini dapat meliputi beberapa kegiatan anatara lain:
1)
Penjelasan dan pemberian contoh-contoh CS
Konselor
perlu memberikan penjelasan tentang maksud CS sejelas-jelasnya. Dalam
penjelasan ini konselor dapat memberi contoh CS, sehingga konseli dapat
membedakan dengan jelas antara CS dengan pikiran yang menyalahkan diri.
2)
Pembuatan contoh oleh konseli
Setelah
memberikan beberapa penjelasan, konselor dapat meminta konseli untuk memikirkan
CS. Konselor juga perlu mendorong konseli untuk memilih CS yang paling natural
atau wajar.
3)
Konseli mempraktikkan CS
Dengan
menggunakan CS yang telah ditemukan, konselor selanjutnya meminta konseli
latihan memverbalisasikannya. Ini sangat penting, sebab banyak konseli yang
tidak bisa menggunakan CS. Latihan seperti itu dapat mengurangi beberapa
perasaan kaku konseli dan dapat meningkatkan keyakinan bahwa ia mampu (perasaan
mampu) untuk membuat “pernyataan diri” yang berbeda.
d.
Pindah dari pikiran-pikiran negatif ke Coping Thoughts (CT)
Setelah
konseli mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif dan mempraktikkan CS
alternatif, konselor selanjutnya melatih konseli untuk pindah dari
pikiran-pikiran negatif ke CS. Terdapat dua kegiatan dalam prosedur ini yaitu:
(1) pemberian contoh peralihan pikiran oleh konselor, dan (2) latihan peralihan
pikiran oleh konseli.
e.
Pengenalan dan latihan penguat positif
Bagian
terakhir dari cognitive restructuring
berisikan kegiatan mengajar konseli tentang cara-cara memberikan penguatan bagi
dirinya sendiri untuk setiap keberhasilan yang dicapainya. Ini dapat dilakukan
dengan cara konselor memodelkan dan konseli mempraktikkan pernyataan-pernyataan
diri yang positif. Maksud dari pernyataan ini adalah untuk membantu konseli menghargai
setiap keberhasilannya. Untuk mempermudah konseli, konselor dapat menjelaskan
maksud dan memberikan contoh tentang pernyataan diri positif, kemudian meminta
konseli untuk mempraktikkannya.
f.
Tugas rumah dan latihan tindak lanjut
Meskipun
tugas rumah bagian integral dari setiap tahapan prosedur Cognitive Restructuring (CR), konseli pada akhirnya mampu untuk
menggunakan CR kapan pun diperlukan
dalam situasi yang menekan. Tugas rumah ini dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada konseli untuk mempraktikkan keterampilan yang diperoleh dalam
menggunakan CS dalam situasi yang sebenarnya. Jika penggunaan CR tidak mengurangi level penderitaan,
atau kecemasan konseli, konselor dan konseli perlu membatasi kembali masalah
dan tujuan terapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar