Sabtu, 28 Mei 2016

Cognitive Restructuring & Motivasi Berprestasi

Definisi Motivasi Berprestasi

Schunk, Pintrich dan Meece (2008: 4) menjelaskan bahwa motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere (bergerak) atau sesuatu yang mendorong untuk bergerak, membuat individu terus bekerja dan membantu untuk menyelesaikan tugas-tugas. Motivasi juga merupakan suatu proses yang tidak bisa di observasi secara langsung, tetapi dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan misalnya dalam memilih  tugas (choice), upaya yang dilakukan (effort) dan dapat juga dari bahasa verbal yang terucap.
Salah satu unsur dari motivasi adalah motif (motive, alasan, atau sesuatu yang memotivasi). Menurut Morgan (dalam Sukadji, 2000) motivasi dan motif sering dipakai dengan pengertian yang sama. Sedangkan menurut Adi (1994: 154) motivasi merupakan daya gerak dari dalam diri manusia, sedangkan motif merupakan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga bagi munculnya suatu tingkah laku tertentu. Definisi tersebut memiliki pengertian bahwa sebelum manusia melakukan suatu aktifitas tertentu, dibutuhkan motivasi sebagai penggerak atau pendorong manusia untuk melakukan aktifitas tersebut.
Phil (dalam Hikmah, 2012: 27) mendefinisikan bahwa “motivation is an attempt to explain the ‘why’ of behavior” (motivasi adalah upaya untuk menjelaskan bagaimana suatu tingkah laku terjadi). Menurutnya, “motivation is concerned with goal-directed behavior, what is that pushes us towards certain forms of behavior and not others” (motivasi berfokus pada perilaku yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu apa yang mendorong individu untuk melakukan suatu perilaku dan bukan berfokus pada yang lainnya). Berdasarkan beberapa pengertian motivasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dibutuhkan sejumlah proses yang dapat memotivasi individu untuk melakukan aktifitas sebagai usaha untuk mencapai tujuan yang ditetapkannya.
Motivasi berperan sebagai sasaran dan sekaligus alat untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. McClelland (dalam Pasiak, 2006: 226) menyebut keinginan berprestasi merupakan kebutuhan dasariah manusia. Need of achievement (kebutuhan untuk berprestasi) adalah kebutuhan asasi layaknya makan dan minum. Berhasil atau berprestasi adalah kebutuhan yang harus terpenuhi. Prestasi itu sendiri memiliki pengertian sebagai kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang memengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar (Sardiman, 2001: 46).
Motivasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar siswa karena berfungsi mendorong, menggerakkan, mengarahkan kegiatan belajar, yang pada hakikatnya motivasi diyakini sebagai penguat (reinforcement) (Tim MGBK, 2010: 67). Motivasi adalah syarat mutlak untuk belajar (Purwanto, 1999: 72). Seseorang yang berhasil dalam mencapai tujuan belajarnya dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya. Tanpa motivasi, hasil belajar tidak akan optimal dan stimulus belajar yang diberikan tidak akan berarti. Oleh karena itu, motivasi memiliki peranan penting dalam membantu individu meraih kesuksesan, salah satunya adalah motivasi berprestasi.
Motivasi berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray pada tahun 1930-an (dalam Davidoff, 1991: 37) yang di istilahkan dengan need for achievement dan dipopulerkan oleh McClelland dengan sebutan “n-ach”, yang beranggapan bahwa motif berprestasi merupakan virus mental, sebab merupakan pikiran yang berhubungan dengan cara melakukan kegiatan dengan lebih baik daripada cara yang pernah dilakukan sebelumnya. Jika sudah terjangkit virus ini mengakibatkan perilaku individu menjadi lebih aktif dan individu menjadi lebih giat dalam melakukan kegiatan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari sebelumnya. Teori yang membahas mengenai motivasi berprestasi menurut Murray dan McClelland ini disebut teori nilai ekspektasi, dimana gagasan yang mendasari teori ekspektasi adalah tingkah laku bermotivasi yang berasal dari kombinasi antara kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu dan nilai-nilai dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai (Koeswara, 1995).
Motivasi berprestasi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena motivasi berprestasi akan mendorong individu untuk mengatasi tantangan atau rintangan dan berkompetisi dengan baik sehingga akan meningkatkan hasil kinerjanya. Individu yang menunjukkan motivasi berprestasi menurut McClelland (dalam Danim dan Suparno, 2005: 31) adalah mereka yang task oriented dan siap menerima tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi tugas-tugasnya dengan beberapa cara, yaitu membandingkan dengan hasil kerja orang lain atau dengan standar tertentu. Heckhausen (1967: 54) berpendapat bahwa motif berprestasi diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan atau melakukan kecakapan pribadi setinggi mungkin dalam segala aktivitas dan suatu ukuran keunggulan tersebut digunakan sebagai pembanding, meskipun dalam usaha melakukan aktivitas tersebut ada dua kemungkinan yakni gagal atau berhasil. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa motivasi berprestasi merupakan motif yang mendorong individu untuk mencapai sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan beberapa ukuran keunggulan (standard of excellence). Ukuran keunggulan digunakan untuk standar keunggulan prestasi yang dicapai seseorang sebelumnya dan seperti dalam suatu kompetisi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu keinginan, motif dan usaha seseorang untuk mencapai prestasi terbaik dengan cara mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki dalam berkompetisi dengan beberapa ukuran keunggulan (standard of excellence) dengan tujuan untuk meraih kesuksesan.
Karakteristik Individu dengan Motivasi Berprestasi
McClelland (1987: 246-249) mengungkapkan beberapa karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi, yaitu sebagai berikut:
a.      Mempunyai tanggung jawab
Individu yang motivasi berprestasinya tinggi biasanya mempunyai tanggung jawab pribadi baik terhadap dirinya maupun tanggung jawab terhadap pekerjaan atau tugas-tugasnya. Hal tersebut terjadi karena hanya dengan kondisi itulah yang membuat individu merasa puas dalam mengerjakan sesuatu yang lebih baik.
b.      Berorientasi untuk sukses
Individu mampu mengelola kemampuan secara realistis dan cermat untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan peningkatan prestasi dikemudian hari. Oleh karena itu, individu yang mempunyai motivasi tinggi biasanya selalu memperhitungkan segala resiko untuk setiap tindakan yang dilakukannya. Resiko yang diambil akan disesuaikan dengan batas kemampuan individu.
c.      Membutuhkan umpan balik
Individu selalu menuntut adanya umpan balik. Hal ini digunakan untuk mengetahui seberapa berhasil usahanya dalam mengerjakan tugasnya.
d.      Inovatif
Pengertian inovatif disini diartikan sebagai cara individu dalam mengerjakan pekerjaannya dengan menggunakan cara yang berbeda dari cara sebelumnya, dengan waktu yang lebih cepat, dengan cara yang lebih efisien, dan dengan hasil yang lebih baik.
Berdasarkan karakteristik yang dikemukakan McClelland (1987), dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yaitu siswa yang selalu berusaha dan tidak mudah menyerah dalam berkompetisi sebab memiliki standar prestasi yang tinggi, bertanggung jawab terhadap dirinya serta terhadap tugas-tugasnya untuk mencapai tujuannya, menggunakan umpan balik untuk menentukan tindakan yang efektif sehingga dapat mengetahui seberapa berhasil tugas yang dikerjakan, senang akan kegiatan-kegiatan yang bersifat prestatif dan kompetitif, mengambil tindakan-tindakan sesuai dengan batas kemampuannya, mampu menerima kegagalan sebagai suatu hal yang wajar untuk dapat memperbaiki diri agar menjadi lebih baik, serta kreatif dan inovatif dalam arti menyukai cara-cara yang unik dalam menyelesaikan suatu masalah.
Aspek-Aspek Motivasi Berprestasi
Menurut Atkinson (dalam Sukadji, 2001) motivasi berprestasi dapat tinggi atau rendah, didasari pada dua aspek yang terkandung di dalamnya yaitu harapan untuk sukses atau berhasil (motif of success) dan juga ketakutan akan kegagalan (motive to avoid failure). Seseorang yang memiliki harapan berhasil lebih besar daripada ketakutan akan kegagalan dikelompokkan ke dalam mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, sedangkan seseorang yang memiliki ketakutan akan kegagalan yang lebih besar daripada harapan untuk berhasil dikelompokkan ke dalam mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah.
Faktor-Faktor Memengaruhi Motivasi Berprestasi
McClelland (dalam Sukadji, 2001) menjelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motif berprestasi, yaitu:
a.      Harapan orangtua terhadap anaknya
Orangtua yang mengharapkan anaknya bekerja keras dan berjuang untuk mencapai sukses akan mendorong anak tersebut untuk bertingkah laku yang mengarah kepada pencapaian prestasi. Dari penilaian diperoleh bahwa orangtua dari anak yang berprestasi melakukan beberapa usaha khusus terhadap anaknya.
b.      Pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan
Adanya perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang sering menyebabkan terjadinya variasi terhadap tinggi rendahnya kecenderungan untuk berprestasi pada diri seseorang. Biasanya hal itu dipelajari pada masa kanak-kanak awal, terutama melalui interaksi dengan orangtua dan “significant others”.
c.      Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan
Apabila dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada pentingnya keuletan, kerja keras, sikap inisiatif dan kompetitif, serta suasana yang selalu mendorong individu untuk memecahkan masalah secara mandiri tanpa dihantui perasaan takut gagal, maka dalam diri seseorang akan berkembang hasrat untuk berprestasi tinggi.
d.      Peniruan tingkah laku
Melalui “observational learning” anak mengambil atau meniru banyak karakteristik dari model, termasuk dalam kebutuhan untuk berprestasi, jika model tersebut memiliki motif tersebut dalam derajat tertentu.
e.      Lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung
Iklim belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, memberi semangat dan sikap optimisme bagi siswa dalam belajar, cenderung akan mendorong seseorang untuk tertarik belajar, memiliki toleransi terhadap suasana kompetisi dan tidak khawatir akan kegagalan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi motivasi berprestasi seseorang yaitu pengaruh peranan dalam keluarga yang dapat memengaruhi pola pikir individu, pengaruh lingkungan dan budaya tempat seseorang dibesarkan, kemampuan intelektual yang dimiliki, serta pengalaman yang diperoleh semasa hidup.

       COGNITIVE RESTRUCTURING (CR)
Definisi Cognitive Restructuring (CR)
Menurut Cormier dan Cormier (dalam Nursalim, 2013: 32) cognitive restructuring pada awalnya dikemukakan oleh Lazarus (1972), dan merupakan cabang dari Rational Emotive Therapy (RET) yang dikembangkan oleh Ellis (1975). Menurut Oemarjoedi (2003) cognitive restructuring merupakan salah satu teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang merupakan suatu cara yang dilakukan dengan tujuan untuk menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini memengaruhi emosi dan perilakunya.
Ditegaskan pula oleh Sayre (2006: 1), yang menyatakan strategi cognitive restructuring merupakan serangkaian kegiatan meneliti dan menilai keyakinan yang konseli miliki saat ini untuk memahami bagaimana keyakinannya, apakah dinilai rasional atau tidak rasional (valid atau gugur) melalui proses yang obyektif dari penilaian yang berhubungan dengan pikiran, perasaan, dan tindakan.
Menurut McKay dan Fanning (2000), cognitive restructuring dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan berpikir yang berupa kritik diri. Kemudian dilanjutkan dengan menata ulang pikiran seseorang dengan menyangkal kritik diri tersebut. Pikiran negatif sulit diketahui karena pikiran tersebut erat dengan cara seseorang memandang suatu realitas. Bila individu terus berpikir negatif maka pikiran tersebut dapat mengontrol pikiran individu sehingga konsekuensinya individu akan merasa cemas, takut, tidak aman, dan sulit menghadapi permasalahannya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa cognitive restructuring adalah suatu proses merubah kesalahan pikiran siswa sehingga menjadi pemikiran yang realistis, dilakukan oleh konselor dengan tujuan membantu siswa dalam mencari alternatif pikiran.
Tahapan-Tahapan Prosedur Cognitive Restructuring (CR)
Comier dan Comier (dalam Nursalim, 2013: 32) merangkum tahapan-tahapan prosedur CR ke dalam enam bagian sebagai berikut:
a.      Rasional: tujuan dan tinjauan singkat prosedur
Rasional digunakan untuk memperkuat keyakinan konseli bahwa “pernyataan diri” dapat memengaruhi perilaku, dan khususnya pernyataan-pernyataan diri negatif atau pikiran-pikiran menyalahkan diri dapat menyebabkan tekanan emosional. Suatu rasional dapat berisikan penjelasan tentang tujuan, gambaran singkat prosedur yang akan dilaksanakan, dan pembahasan tentang pikiran-pikiran diri positif dan negatif.
b.      Identifikasi pikiran konseli dalam situasi problem
Setelah konseli menerima rasional yang diberikan, langkah berikutnya adalah melakukan suatu analisa terhadap pikiran-pikiran konseli dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan. Tahap ini dapat berisikan tiga kegiatan sebagai berikut:
1)      Mendeskripsikan pikiran-pikiran konseli dalam situasi problem
Dalam wawancara, konselor dapat bertanya kepada konseli tentang situasi-situasi yang membuatnya menderita atau tertekan dan hal-hal yang dipikirkan konseli ketika sebelum, selama, dan setelah situasi berlangsung.
2)      Memodelkan hubungan antara peristiwa dan emosi
Jika konseli telah mengenali pikiran-pikiran negatifnya yang mengganggu, konselor selanjutnya perlu menunjukkan bahwa pikiran-pikiran tersebut berhubungan dengan situasi yang dihadapi dan emosi yang dialami kemudian, dan konselor perlu meminta konseli untuk mencatat hubungan tersebut secara eksplisit. Jika konseli masih gagal untuk mengenali pikirannya, konselor dapat memodelkan hubungan tersebut dengan menggunakan situasi konseli atau situasi yang berasal dari kehidupan konselor.
3)      Pemodelan pikiran oleh konseli
Konselor dapat pula meminta konseli mengidentifikasi situasi-situasi dan pikiran-pikiran dengan memonitor dan mencatat peristiwa dan pikiran-pikiran di luar wawancara konseling dalam bentuk tugas rumah. Dengan menggunakan data konseli tersebut, konselor dan konseli dapat menetapkan manakah pikiran-pikiran negatif dan manakah pikiran-pikiran yang positif. Konselor dapat pula mencoba meminta konseli untuk memisah antara dua tipe pernyataan diri dan mengenali mengapa satu pikirannya negatif dan yang lain positif. Identifikasi ini mengandung beberapa maksud, untuk menetapkan apakah pikiran-pikiran yang disajikan konseli berisikan pernyataan diri negatif dan positif. Data tersebut juga memberikan informasi tentang derajat tekanan yang dialami konseli dalam situasi yang dihadapi, jika beberapa pikiran positif telah diidentifikasi, konseli akan menyadari adanya alternatif untuk mengubah pikirannya. Jika tidak ada pikiran positif yang dikemukakan, ini merupakan petunjuk bahwa konselor perlu memberikan perhatian khusus. Konselor dapat menyatakan tentang bagaimana suatu pikiran negatif dapat diubah dengan cara memperlihatkan bagaimana pikiran-pikiran yang merusak diri dapat dinyatakan kembali dengan cara yang lebih konstruktif (Fremouw, 1978).
c.      Pengenalan dan latihan Coping Thoughts (CT)
Pada tahap ini terjadi perpindahan fokus dari pikiran-pikiran konseli yang merusak diri menuju ke bentuk pikiran lain yang lebih konstruktif (pikiran yang tidak merusak diri). Pikiran-pikiran yang lebih konstruktif ini disebut sebagai pikiran yang menanggulangi (Coping Thought = CT) atau pernyataan yang menanggulangi (Coping Statement = CS) atau intruksi diri yang menanggulangi (Coping Self-Instruction = CSI). Semuanya dikembangkan untuk konseli. Pengenalan dan pelatihan CS tersebut penting untuk mendukung keberhasilan seluruh prosedur cognitive restructuring. Ini dapat meliputi beberapa kegiatan anatara lain:
1)      Penjelasan dan pemberian contoh-contoh CS
Konselor perlu memberikan penjelasan tentang maksud CS sejelas-jelasnya. Dalam penjelasan ini konselor dapat memberi contoh CS, sehingga konseli dapat membedakan dengan jelas antara CS dengan pikiran yang menyalahkan diri.
2)      Pembuatan contoh oleh konseli
Setelah memberikan beberapa penjelasan, konselor dapat meminta konseli untuk memikirkan CS. Konselor juga perlu mendorong konseli untuk memilih CS yang paling natural atau wajar.
3)      Konseli mempraktikkan CS
Dengan menggunakan CS yang telah ditemukan, konselor selanjutnya meminta konseli latihan memverbalisasikannya. Ini sangat penting, sebab banyak konseli yang tidak bisa menggunakan CS. Latihan seperti itu dapat mengurangi beberapa perasaan kaku konseli dan dapat meningkatkan keyakinan bahwa ia mampu (perasaan mampu) untuk membuat “pernyataan diri” yang berbeda.
d.      Pindah dari pikiran-pikiran negatif ke Coping Thoughts (CT)
Setelah konseli mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif dan mempraktikkan CS alternatif, konselor selanjutnya melatih konseli untuk pindah dari pikiran-pikiran negatif ke CS. Terdapat dua kegiatan dalam prosedur ini yaitu: (1) pemberian contoh peralihan pikiran oleh konselor, dan (2) latihan peralihan pikiran oleh konseli.
e.      Pengenalan dan latihan penguat positif
Bagian terakhir dari cognitive restructuring berisikan kegiatan mengajar konseli tentang cara-cara memberikan penguatan bagi dirinya sendiri untuk setiap keberhasilan yang dicapainya. Ini dapat dilakukan dengan cara konselor memodelkan dan konseli mempraktikkan pernyataan-pernyataan diri yang positif. Maksud dari pernyataan ini adalah untuk membantu konseli menghargai setiap keberhasilannya. Untuk mempermudah konseli, konselor dapat menjelaskan maksud dan memberikan contoh tentang pernyataan diri positif, kemudian meminta konseli untuk mempraktikkannya.
f.       Tugas rumah dan latihan tindak lanjut
Meskipun tugas rumah bagian integral dari setiap tahapan prosedur Cognitive Restructuring (CR), konseli pada akhirnya mampu untuk menggunakan CR kapan pun diperlukan dalam situasi yang menekan. Tugas rumah ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada konseli untuk mempraktikkan keterampilan yang diperoleh dalam menggunakan CS dalam situasi yang sebenarnya. Jika penggunaan CR tidak mengurangi level penderitaan, atau kecemasan konseli, konselor dan konseli perlu membatasi kembali masalah dan tujuan terapi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jenis Umum dan Type Riset

Berbagai tradisi penelitian untuk menganalisis data kualitatif. Apakah mungkin sejumlah karakteristik prosedur analisis kualitatif bis...